Antara Cinta Dan Persahabatan
Aku
tidak pernah berpikir jika hidupku bisa beranjak naik tingkatan setelah
bertahun-tahun aku dan kedua orang tuaku hidup dalam kemiskinan dan
menderita, selalu menerima ejekan orang-orang, dipandang sebelah mata,
menyambung hidup dengan bermodalkan gitar kecil dan suara yang tidak
begitu enak untuk didengar. Aku merasa bahwa hidupku digariskan Tuhan
sebagai orang miskin seterusnya yang hidup mengamen di persimpangan
jalan. Tapi, setelah aku mengenal Ferdy, hidupku jadi berubah total,
bahkan aku tidak bisa mempercayainya dengan apa yang aku alami sekarang
ini. Aku memiliki sebuah rumah yang besar, mobil mewah dan barang-barang
berharga lainnya. Tiap kali mau pergi kesuatu tempat ada sopir pribadi
yang siap untuk mengantar kemanapun aku mau pergi. Lain sekali ketika
aku masih miskin, tinggal disebuah rumah kardus dibawah jembatan layang,
tiap mau pergi kesuatu tempat mesti jalan kaki untuk menempuhnya.
Hidupku penuh kemudahan semenjak perubahan hidup yang aku alami. Aku
bersyukur sekali, karena Tuhan masih sayang dan merubah hidupku melalui
seorang Ferdy, seorang yang tidak pernah aku ketahui secara lengkap
darimana dia berasal. Cowok berusia 24 tahun, wajahnya tidak begitu
ganteng, nggak begitu suka dandan, namun ada satu hal yang aku kagumi
dari dirinya, yaitu ketekunan dan kepinteran yang dia miliki.
Pagi
itu, hari sangat cerah sekali. Aku terjaga dari tidur, kemudian
bergegas membersihkan badanku dengan beberapa bilasan air, kemudian
pergi ke tempat biasa, tidak lupa sebelumnya berpamitan kepada kedua
orang tuaku. Di persimpangan jalan, tidak jauh, sekitar lima ratus meter
dari tempat aku tinggal, aku bekerja untuk menyambung hidup dengan
mengamen. Mulai sejak tamat sekolah dasar, aku selalu melakukan
pekerjaan ini, jika tidak begini aku tidak bisa hidup. Darimana lagi aku
bisa makan jika tidak mengamen, ini merupakan keahlian seni musik
satu-satunya yang aku dapat di sekolah dasar dulu. Lumayan buat cari
uang, daripada aku minta belas kasihan orang tanpa bekerja. Kedua orang
tuaku tidak tiap hari mendapatkan uang, mereka hanya bekerja sebagai
pemulung barang sisa minuman dan kardus. Karena itu aku tidak lanjut
sekolah kelebih tinggi lagi, namun aku masih bisa membaca dan berhitung,
terkadang orang tuaku mengajariku meski tidak sehebat seorang guru
kebanyakan. Aku tidak pernah menyesali dengan hidup miskin dan memiliki
kedua orang tua seperti mereka. Orang tuaku mengajariku untuk selalu
berusaha dan pantang menyerah menjalani hidup ini, mereka selalu
mengajariku untuk selalu ingat kepada Tuhan.
Saat aku sampai dan
akan memainkan gitar, alangkah terkejutnya aku, seorang cowok seumuranku
dengan seenaknya bernyanyi dan menerima uang pemberian orang-orang di
tempat biasa aku mengamen. Aku mengenal betul, siapa saja yang mengamen
di sekitar tempat itu, namun kali ini aku tidak tahu siapa cowok itu.
Padahal sudah ada aturan tidak boleh menempati daerah orang lain
bekerja, setiap daerah sudah ada yang menempati, sudah dibagi-bagi sejak
dulu. Kalaupun ada pendatang baru harus melapor terlebih dahulu. Dia
memainkan gitarnya dengan lihai.
Aku mendekati dirinya
yang sedang bersandar di pilar jembatan layang dengan asyik menghitung
uang koin yang didapatnya dari hasil menyanyinya. Dari raut mukanya
terlihat sekali kalau dia senang sekali, dan tidak merasa berbuat suatu
kesalahan apapun.
"Anak baru ya?," tanyaku
Dia mengangguk tanpa berkata apapun, aku sedikit kesal padanya karena tidak memberikan jawaban
"Darimana?"
Dia hanya diam dan sekali lagi tidak memberikan jawaban
"Kamu datang dari mana?," tanyaku sekali lagi, agak membesarkan volume suaraku
"Apa urusannya denganmu?," jawabnya rada sewot
Aku
tidak sabar ingin menghajarnya, namun hati kecilku mengatakan untuk
tidak melakukannya, aku berusaha menenangkan diriku menahan sabar.
Awalnya aku ingin tidak memperdulikan dia, namun mau gimana lagi
ladangku dipakai oleh seorang yang dengan seenaknya sendiri menempati
tempatku tanpa minta izin terlebih dahulu.
"Kalo kamu mau dapat uang, mari kita bernyanyi bersama," katanya
"Apa???? Maksudmu ngamen bareng?"
"Iya, kita ngamen bareng"
"Kamu tahu..., kamu telah berbuat kesalahan kepadaku."
"Kesalahan
apa? Aku tidak pernah mengenalmu dan aku juga tidak pernah bertemu
dengan kamu, terus aku berbuat salah apa terhadap kamu?"
Aku makin
tidak sabar untuk menghajarnya sampai babak belur, biar kakinya tidak
mampu berdiri dan mukanya memar-memar. Tanganku mulai gatal, begitu juga
kakiku mulai kesemutan ingin menendangnya, namun aku tak kuasa untuk
melakukannya. Ada suatu perasaan yang menghalangiku untuk tidak
melakukannya.
Aku terdiam sejenak, setelah mendengar perkataannya barusan.
"Ayo.....!! Mau ga?,"ajaknya
"Ga......!!
Ini tempatku dan aku yang pertama dan sudah lama aku mengamen di sini.
Sedangkan kamu baru pertama kali di sini, aku rasa kamu mesti pergi dari
sini, kamu itu mengganggu"
Tanpa berkata-kata lagi dia pergi menjauh meninggalkan aku, lalu duduk bersandar di pot bunga yang berada di bawah tepat fly over.
Mungkin aku terlalu berbuat kasar pada dirinya, aku juga tidak mau ini
terjadi. Aku membiarkan dirinya berada di sana, aku mulai memainkan
gitarku dan bernyanyi. Sesekali aku pandangi dirinya, masih tetap saja
terdiam di sana tidak beranjak kemana-mana. Aku lega dia tidak berbuat
onar, tidak seperti pengamen yang lain jika diusir meninggalkan sisa
perbuatan yang tidak menyenangkan. Tapi dia sangat berbeda sekali dengan
pengamen yang selama ini aku temui atau aku kenal, dia tidak ada
tampang sama sekali sebagai seorang pengamen.
Setelah aku
mendapatkan cukup uang, aku membeli nasi bungkus dan sebotol minuman
mineral di warung langgananku. Aku masih memerhatikan dia yang masih
duduk di pot bunga, aku jadi tidak tega melihatnya, kemudian kuputuskan
untuk membeli makanan dan minuman untuk dirinya.
"Ni....," aku menyodorkan makanan dan minuman
"Untukku?"
Aku
mengangguk, dia membalas dengan tersenyum, kemudian kami makan bareng.
Kami berdua tidak mengeluarkan sepatah katapun selama makan.
"Terima kasih ya," katanya
"Terima kasih untuk apa?"
"Untuk makanan dan minuman yang kamu berikan."
"Itu tidak gratis ya."
"O...kalo gitu aku mesti bayar berapa?"
Aku tersenyum....... "Tidak, kamu tidak usah bayar, aku bercanda ko. Aku minta maaf ya, atas perbuatanku yang kasar mengusirmu."
"Tidak, seharusnya aku yang minta maaf, tidak seharusnya aku menempati tempat kamu bekerja. O iya, kenalkan namaku Ferdy"
"Jingga"
"Nama yang sangat cantik, seperti orangnya," katanya
"Gombal"
Aku tersipu malu mendengar perkataannya barusan. Saat itu aku tahu namanya, mulai sejak itu juga kami ngamen bareng.
***
Sudah
enam bulan berlalu, aku mengenal Ferdy, aku pikir dia anak yang sama
dengan anak yang selama ini aku ketahui, anak jalanan yang banyak
tingkah, awut-awutan, hidupnya berantakan, bikin onar sana sini. Tapi
tidak, dia seorang yang baik dan menyenangkan, memiliki selera humor,
tidak terlalu banyak tingkah, juga tidak mudah marah mendengar
perkataanku yang terkadang menyakiti dirinya. Dia rela tidak mengamen
sebelum aku datang. Sebelumnya aku tidak mempunyai seorang teman yang
bisa aku ajak untuk berbagi suka dan dukaku. Seorang Ferdy yang bisa
membuat aku untuk bercerita dan berbagi kisahku. Dia juga mengajarkanku
dan memberikan suatu hal tentang arti seorang teman. Dia seperti obat
bagi kehidupanku, setiap kali aku berada di dekatnya, ada perasaan yang
begitu hebat, perasan yang kuat, perasaan yang tidak mampu aku pahami.
Kali
ini Ferdy mengajakku untuk mengamen di bus, sudah jenuh mengamen di
persimpangan jalan katanya. Awalnya aku menolak karena aku tidak
terbiasa mengamen di dalam bus, selain itu aku tidak ingin berbuat ribut
dengan pengamen yang lain. Setelah Ferdy memaksa dan memberikan banyak
keyakinan kepadaku aku mengiyakan ajakannya. Pertama kali kami mengamen,
kami takut dengan pengamen yang biasa mengamen dibus, takutnya kami
dituduh macam-macam. Untungnya ada seorang bapak-bapak yang juga seorang
pengamen memberikan ijin kami untuk mengamen. Kami mulai mengamen di
dalam bus, tidak perduli kemanapun bus berjalan membawa kami. Lagu
pertama yang kami bawakan lagu kepunyaan mendiang almarhum Nike Ardilla,
Izinkan. Kami berdua menikmati membawakan lagu tersebut, kami sama
sekali tidak canggung karena terbiasa ngamen bareng. Satu hal yang
membuatku kurang nyaman tidak seperti mengamen di persimpangan jalan
adalah pada waktu bus berhenti secara mendadak, membuat aku dan ferdy
mesti waspada agar tidak terjatuh. Setelah aku selesai menyanyi, Ferdy
menerima uang seikhlasnya dari para penumpang.
Saat kami hendak
meninggalkan bus setelah menerima uang dari hasil mengamen, seorang anak
kecil, kurus, berpakaian warna merah, tanpa berkata apa-apa memasukkan
secarik kertas ke kantong Ferdy sambil nyengir. Kami tidak tahu kertas
apa itu, Ferdy tidak berbuat apa-apa pada kertas itu, dia sama sekali
tidak memperdulikannya.
Kami menikmati sekali hari ini, karena
mendapatkan banyak uang. Sejenak singgah di sebuah warung membeli
makanan. Kami berdua tidak tahu berada dimana, tapi kami tidak sangat
khawatir dengan hal itu, kami terlalu menikmati apa yang barusan kami
lakukan, pengalaman pertamaku yang begitu berkesan yang tidak pernah aku
lakukan sebelumnya.
"Kamu suka?," tanya Ferdy padaku
"Kamu?," aku tanya balik
Dia
mengangguk, aku juga mengangguk, kemudian kami ketawa bareng, tidak
memperdulikan orang-orang yang memperhatikan kami. Setelah itu kami
pergi meninggalkan warung, menyusuri jalanan untuk mencari halte tempat
bus berhenti.
Hari sudah mulai sore, kami terdiam di sebuah halte
cukup lama, sekitar tiga jam lamanya, namun tidak satupun ada bus yang
lewat.
"Gimana ni Fer? Sudah lama kita nunggu, tapi gak satupun bus ada yang lewat," aku rada panik.
"Sabar, kita tunggu saja."
Aku
tidak bisa berbuat apa-apa lagi kecuali hanya menunggu. Untuk
menghilangkan penat sesekali Ferdy memainkan gitarnya. Dia menyuruhku
untuk bernyanyi, tapi aku menolak permintaannya. Hatiku was-was karena
takut tidak bisa kembali, selain itu kedua orang tuaku pasti sangat
khawatir sekali. Berbeda sekali dengan Ferdy yang sangat santai dan
tidak ada rasa khawatirnya sama sekali. Ferdy sangat tahu betul jika aku
tidak tenang, dia memandangiku sesekali tapi aku tidak
memperdulikannya. Kemudian dia menyuruhku duduk di sampingnya, aku
menerimanya. Dia mengatakan hal-hal yang bisa membuatku tenang. Aku
tidak tahu kenapa, tiap kali berada di dekatnya, aku merasakan sesuatu
yang bisa membuatku tenang. Kami terlibat dalam sebuah percakapan,
sambil menunggu sebuah bus lewat mengantarkan kami kembali.
‘Jingga, kalo boleh nanya, cita-cita kamu, apa sih?," Ferdy bertanya kepadaku
"Kalo ga boleh nanya dan aku ga mau jawab, gimana?"
"Iya
ga masalah, ga maksa..tapi aku yakin kamu pasti punya keinginan dan
impian. Setiap orang kan punya itu, ga percaya kalo setiap orang ga
punya keinginan dan impian. Meskipun terkadang keinginan itu tidak
pernah tercapai, tapi kalau kita percaya dan berusaha pasti bisa
tercapai."
"Cita-citaku selagi aku masih kecil aku ingin sekali menjadi seorang model terkenal. Itu dulu Fer, sekarang sudah tidak lagi."
Aku
berfikir Ferdy akan menertawakanku mendengar pengakuan barusan. Melihat
fisik dan nasibku yang seperti ini bagaimana bisa aku menjadi seorang
super model seperti Gisele Bundchen dengan bayaran yang tinggi, memiliki
segalanya, wajah cantik dan postur tubuh ideal cocok jadi model. Cara
berjalan dan pose di depan kamera sudah biasa. Sedangkan aku jauh dari
seperti itu, berpose di depan kamera saja aku tidak pernah, cara
berjalan seperti model tidak sama sekali aku lakukan. Terakhir hanya
melihat di televisi tanpa warna dan rada ada semutnya akibat antenanya
yang kurang pas, acara pemilihan miss Indonesia cara jalan melanggang di
atas stage para kontestannya, itupun aku lihat di tempat aku biasa membeli makan.
"Jadi model? ...., bisa terkenal, setiap berpenampilan dan gaya ditiru oleh banyak orang, dipotret sana-sini."
Ternyata
aku salah, Ferdy tidak menertawakanku atau menghina-hina aku, malah
sebaliknya dia mendukungku dan memberiku semangat. Meskipun aku rasa
mustahil bakal terjadi dan aku membuang impianku itu jauh dan sejauh
mungkin, itu hanya sekedar keinginan yang tidak akan pernah aku raih.
Bagaimana mungkin bisa aku menjadi seorang model, buat beli makan dan
minum saja sulit, pakaian hanya memiliki tiga potong. Selalu berada di
jalanan.
Entah apa yang ada di pikiran Ferdy, mengapa dia sangat
baik sekali dengan aku, sering memberiku semangat dan perhatian yang
terkadang aku merasa sedikit risih.
"Kalo kamu pikir, masih ga, aku bisa menjadi seorang model?,"aku bertanya sekedar basa-basi
"Jingga,
kamu cantik dan postur kamu tinggi, kamu bisa menjadi seorang model,
bahkan seorang super model. Aku tahu kamu kurang percaya diri dan tidak
kamu sadari kalo diri kamu itu cantik."
Aku nyengir, sama sekali
tidak mempercayai kalimat yang diucapkan oleh Ferdy barusan, kalimat
yang sekedar untuk basa-basi mengisi waktu luang agar suasana tidak
garing saja. Tapi benar apa yang dikatakan oleh Ferdy, aku tidak
memiliki kepercayaan diri yang tinggi, karena aku sadar dengan posisiku,
dan terlalu berhayal terlalu tinggi yang tidak mungkin terwujud.
Rintik-rintik
hujan turun sedikit-demi sedikit membuat dingin keadaan, mulai dari
tadi menunggu bus masih belum menampakkan tanda-tanda akan datang, aku
tetap semakin asik ngobrol dengan Ferdy. Kami terkadang serius dan
sesekali tertawa, aku tahu kedua orang tuaku pasti sudah sangat khawatir
sekali, tidak ada yang bisa kami perbuat lagi selain satu-satunya hanya
menunggu bus. Naik angkot itupun tidak mungkin, angkot tidak bisa
mengantarkan ke tempat tujuan kami.
"Jingga, kamu menggigil?."
"Tidak Fer, hanya....,"belum sempat melanjutkan kalimatku, Ferdy memotong kalimatku.
"Tidak Jingga, kamu menggigil, aku tahu itu."
Ferdy sedikit panik melihat keadaanku.
Ferdy
melepas jaket yang dikenakannya, menyuruhku untuk memakainya. Kemudian
Ferdy memelukku begitu lembut, tubuhku roboh di tubuh Ferdy, begitu
hangat yang aku rasakan, mataku mulai kabur, dan aku dalam kepayahan tak
berdaya.
***
Keesokan harinya
Aku terjaga dari tidur, sedikit kaget, karena aku sudah berada di rumah, padahal terakhir aku berada di halte bersama Ferdy.
Tiba-tiba suara ibu mengejutkanku
"Jingga, ayah dan ibu berangkat dulu, kalo kalo kamu makan, itu ibu sudah siapkan di tempat biasa."
"Iya, bu."
Yang
membuat aku teheran-heran, mengapa ibu tidak marah-marah padaku,
setidaknya ceramah panjang lebar karena aku membuat khawatir mereka.
Sebelum
berangkat ibu memberi kecupan dikeningku seperti biasa yang dia
lakukan. Belum sempat meminta penjelasan bagaimana aku bisa berada di
rumah, kedua orang tuaku sudah pergi untuk memulung. Aku tahu pasti
Ferdy yang membawaku, dia kan yang bersamaku kemarin, kalo bukan dia
siapa lagi? Tapi yang tidak abis pikir bagaimana dia tahu rumahku,
padahal selama ini aku dan dia hanya bertemu di tempat kami mengamen,
aku juga tidak pernah mengajaknya bermain ke rumah orang tuaku? Apalagi
mereka, tidak mungkin mereka pernah mengajak Ferdy ke rumah sebelumnya,
Ferdy ketemu dengan kedua orang tuaku juga di tempat biasa aku mengamen,
itupun dua kali mereka bertemu.
"Arrrghh, bodoh...yang jelas aku selamat sampai rumah!!!,"cetusku
Aku bergegas membersihkah tubuh, saat aku hendak melepas pakaianku yang aku kenakan, aku teringat sesuatu, ada yang tidak biasa.
"Ini kan jaket Ferdy"kataku dalam hati
Aku
tersenyum sendiri, kemudian mulai membersihkan tubuhku. Setelah
semuanya beres, aku pergi mengamen. Sudah bisa aku tebak, Ferdy sudah
berada di sana terlebih dulu, aku melihat dia sedang duduk di pot bunga
sambil asik bermain-main dengan gitarnya. Belum sempat aku menyapa, dia
lebih dulu menyapa aku, wajahnya berseri-seri terlihat jelas.
"Eh..akhirnya kamu muncul juga, lama banget aku nunggu kamu, molor mulu Non," katanya menggodaku.
"Seneng
banget kamu........tumben sekali sebegitu cerianya, mau ngajak aku
ngamen di bus lagi? Kali ini aku tidak akan mau menuruti kemauanmu lagi,
aku sudah kapok...kalo kamu mau ngamen di bus, ngamen saja sendiri."
"Jangan marah dulu.....siapa lagian yang mau ngajak ngamen di bus?"
"Lalu?," aku penasaran
‘Makanya tenang dulu...aku punya kejutan untuk kamu."
"Kejutan? Seumur-umur tidak ada yang mau ngasih aku kejutan."
Ferdy
mengangguk, karena rasa penasaran apa yang akan diberikan Ferdy
untukku, aku jadi lupa suatu hal yang ingin aku tanyakan tentang kemarin
bagaimana aku bisa sampai di rumah.
"Kamu janji ya, mau ngelakuin untukku dan untukmu sendiri."
Aku terdiam sejenak dan berfikir, apa yang bakal diberikan untukku, bikin penasaran sekali.
"Tidak!!!...Kalo kamu macem-macem."
"Tidak kok.........tidak macem-macem, hanya hal kecil.........janji dech."
Aku sangat penasaran dan tertarik untuk menyetujui permintaannya.
"Baiklah......tapi kalo macem-macem aku tidak mau ngelakuin apapun."
"Oke...oke.......deal?"
"Deal," kataku
Kami berdua berjabat tangan sebagai tanda bahwa kami saling sepakat.
Tiba-tiba
Ferdy menarikku, bergegas terburu-buru. Tampaknya dia ingin membawaku
ke suatu tempat, aku tidak tahu dia akan membawaku kemana, kami berlari
menyeberangi jalanan. Melewati jalanan yang tidak pernah aku kunjungi
sebelumnya.
"Jingga, mana gitarmu?," pintanya
"Untuk apa Fer?"
"Udah tenang saja....tidak aku apa-apain ko......aku jamin aman."
Mendengar
kalimat barusan aku percaya, memberikan gitarku padanya. Aku mulai
sedikit lelah karena berlari. Jika saja aku tidak berjanji, aku tidak
akan melakukan hal ini.
Sejenak kami berhenti di depan toko.
"Tunggu di sini ya."
Ferdy
menuju ke sebuah rumah yang berada tepat di seberang jalan, tampaknya
dia kenal betul siapa pemilik rumah itu, dia titipkan gitarku dan
gitarnya pada orang tersebut. Kemudian dia menerima sesuatu dari orang
itu. kami berlari lagi tak tahu tujuannya kemana, Ferdy sepertinya sudah
merencanakannya sebelumnya.
"Kamu lelah ya, kalo lelah tahan bentar, karena tinggal beberapa belokan lagi kita sampai."
Aku nurut saja apa katanya.
"Nah...... sudah sampai,"
Aku
lega akhirnya sampai juga. Aku ngos-ngosan dan ambil nafas panjang,
tidak sempat untuk duduk Ferdy menyeretku masuk ke tempat yang tidak
pernah aku kunjungi. Dan aku tidak pernah perduli sama sekali dengan
tempat itu, suatu tempat yang tidak asing untuk kebanyakan wanita,
tempat untuk mempercantik diri, sebuah salon.
"Salon? Untuk apa kamu bawa aku ke tempat ini Fer....?"
"Udah tenang saja...kamu kan sudah janji akan ngelakuin apa yang aku katakan."
"Tapi..."
"Untuk kali ini saja Jingga, please," Ferdy memohon.
Kusetuju,
aku duduk di depan cermin berukuran besar yang membuat wajahku dan
seluruh badanku terlihat jelas. Aku jadi malu melihat diriku sendiri,
dan mulai berfikir, mungkin Ferdy tidak suka melihat wajahku yang lusuh
ini atau dia males ngeliat aku yang tidak bisa dandan, jadi dia
membawaku ke tempat ini. Aku ambil sisir yang berada tepat di hadapanku,
kugunakan untuk menyisir rambutku yang kaku, nyaman sekali rasanya.
"Pasti mahal,"kataku dalam hati.
Sedangkan
Ferdy menungguiku di depan sambil membaca majalah yang sudah disediakan
oleh pemilik salon. Seorang wanita cantik kira-kira berumuran 28 tahun
datang menghampiri Ferdy, percakapan terjalin antara mereka, aku hanya
melihat Ferdy mengangguk-angguk sebagai tanda dia setuju. Setelah
bercakap-cakap wanita itu menghampiriku.
"Selamat pagi," sapanya kepadaku sambil tersenyum.
Aku membalas senyumannya.
"Sudah siap di make over?,"katanya
Aku
hanya diam, tidak tahu apa yang dimaksud dengan perkataannya barusan.
Aku belum sempat menanyakan dan memberikan jawaban, dia sudah mulai
mengambil peralatan dan bahan kecantikan. Dia menyuruhku memejamkan mata
dan tidur terlentang di kasur khusus untuk perawatan tubuh, dia mulai
memainkan tangannya, melumuri wajahku dengan bermacam-macam cream
perawatan kecantikan, rambutku yang panjang dibikin sedikit berombak.
Hampir tiga jam aku didandani, seluruh tubuhku menjadi kaku.
"Oke...sudah selesai."
Aku
belum lihat bagaimana keadaanku setelah didandani, dia buru-buru
membawaku ketempat ruang ganti, dia menyuruhku memakai gaun berwarna
putih, indah dan cantik sekali. Aku sempat menolak permintaannya karena
aku pikir dia menyuruhku untuk membelinya, terus terang saja aku tidak
akan sanggup untuk membayarnya. Kemudian dia menjelaskan semuanya bahwa
semua biaya ditanggung oleh Ferdy. Aku terkejut sekali mendengar
penjelasannya, bagaimana bisa dan dari mana Ferdy mendapatkan uang.
Aku
memakai gaun putih itu, tapi aku tidak tahu hasilnya, wanita itu
memberikan reaksi yang salut , lalu mengatakan kalau aku cocok dan
cantik sekali menggunakan gaun itu. Tidak sabar ingin melihat diriku di
cermin. Aku berdiri di cermin, kupandangi diriku, aku sangat tidak
percaya sama sekali dengan diriku sendiri. Hal ini tidak pernah
sekalipun aku lakukan.
Jam menunjukkan 9.30, setelah membayar
semua perawatanku, Ferdy menghampiriku yang sedang bercermin, dia juga
memberikan reaksi yang sama seperti wanita itu.
"Ayo Jingga jangan lama-lama bercermin..kita hampir terlambat." ajaknya.
Aku bingung, ternyata permintaannya belum selesai, aku kira dia hanya minta diriku untuk menggunakan gaun ini.
"Kita mau ke mana lagi Fer..........?," tanyaku
Ferdy tidak memberikan jawaban, malah menggandengku keluar dari salon, kemudian memanggil tukang bemo.
"Bemo....bemo...bemo......"
Bemo berusia tua menghampiri kami, seorang sopir menanyakan pada kami ingin pergi kemana.
"Antarkan kami di mall ujung sana itu pak," kata Ferdy sambil menunjuk mall yang dimaksud
"Ayo jingga, naik"
Sebuah
bemo berangkat mengantarkan kami ke sebuah mall terbesar di Jakarta
itu. Aku tidak tahu apa yang di rencanakan oleh ferdy, pikiranku
menebak-nebak. Mungkinkah Ferdy mengajakku ngedate, oh sweat
sekali, jadi malu. Selama perjalanan aku pandangi wajah Ferdy, dia gugup
sekali, aku jadi tambah bingung. Aku jadi ingin tahu apa yang akan
dilakukannya, aku mulai memberanikan diri untuk meminta penjelasannya.
"Fer, jujur dech ....sebenarnya kamu tuh mau apa sih...jangan-jangan kamu ingin ngejual aku pada om-om ya?"
Ferdy ketawa, mendengar perkataanku barusan, sedangkan pak sopir ngeliat kami yang sedang ribut lewat kaca bemonya.
"Ha..ha
ha...tidak sejahat itu aku, Jingga, tidak mungkin aku ngejual kamu yang
sangat cantik gini, kecuali kalo kamu galak-galak aku tega ngejual
kamu."
Ferdy dan pak sopir sama-sama ketawa, aku malu dibuatnya.
"Bapak perhatikan dari tadi , ko romatis sekali kencannya," kata pak sopir dengan nada bercanda.
Kami
tiba di sebuah mall, Ferdy buru-buru membawaku kelantai tiga
menggunakan tangga escalator. Suasana disana ramai sekali oleh
pengunjung dan remaja, terlihat juga orang tua yang menggandeng anaknya.
Suara musik menanbah maraknya suasana. Seperti ada acara atau festival
semacamnya.
"Kamu mau nyanyi di sini, Fer?," tanyaku.
"Tidak Jingga."
Ferdy terdiam sejenak kemudian menjelaskan semuanya tentang kejutan yang akan diberikannya.
"Apakah kamu masih ingat dengan kertas yang diselipkan di kantongku oleh seorang anak kecil...waktu kita mengamen dibus?"
Aku mengangguk
"Kertas
itu adalah sebuah undangan untuk acara mengikuti kontes pemilihan
model.... Aku jadi berpikir daripada membuangnya. alangkah bagusnya jika
kamu mengikuti ajang pemilihan model itu. Ini adalah kado spesial yang
ingin aku berikan di hari ulang tahu kamu."
"Hari ulang tahunku?" aku terkejut
"Iya jingga, masa kamu ga ingat...sekarang adalah hari ulang tahun kamu," Ferdy meyakinkanku
Jujur
saja aku tidak pernah merayakan hari jadiku. Tidak ada orang yang
mengingatkanku dan tidak pernah ada orang memberikanku sebuah kado di
hari ulang tahunku, baru Ferdy seorang yang pertama kali ingat dan
memberikan aku sebuah kado.
"Bagaimana kamu tahu kalau sekarang aku berulang tahun?"
"Saat
kamu tertidur di halte, tidak lama kemudian sebuah bus datang.
Sebenarnya aku ingin membangunkan kamu, aku pikir tidak perlu, kamu
terlalu pulas....jadi aku membopong kamu naik kedalam bus. Saat kita
sampai, aku melihat kedua orang tuamu di tempat kita mengamen, aku
memanggilnya dan menjelaskan semuanya jika kamu berada bersamaku ngamen
di bus. Aku kasihan melihat kedua orang tuamu sepertinya sangat capek,
jadi aku yang menggendongmu sampai rumah. Saat berada di rumahmu aku
tidak sengaja melihat foto kamu yang bertuliskan tanggal lahir kamu."
Karena penjelasannya, aku tahu bagaimana Ferdy tahu rumahku.
"Jingga, kamu bercita-cita ingin menjadi model.....inilah kesempatan kamu menunjukkan kalau kamu bisa menjadi seorang model."
"Tapi, Fer...aku..."
Ferdy memotong
"Sttststs.........aku tidak menginginkan kamu harus menang, kamu ikut saja aku sudah sangat senang, please jangan kamu tolak permintaanku"
Aku pasrah, mengikuti dengan apa kemauan Ferdy.
Ferdy menemui panitia acara, mendaftarkan aku sebagai salah satu peserta dan memberikan kertas undangan itu.
Tidak lama kemudian acara dimulai seorang MC
naik keatas panggung menyapa kontestan dan pengunjung mall, memanggil
nama-nama kontestan. Aku gugup sekali, tidak tahu apa yang harus aku
lakukan sama sekali tidak ada persiapan.
"Acara sudah mulai, kamu pergi gabung sama kontestan yang lain," kata Ferdy
"Kamu?"
"Tenang saja, aku tidak akan meninggalkan kamu...aku tunggu di meja sana."
Aku
bergabung dengan kontestan yang lain. Aku tahu mereka semua berbeda
dengan aku, semuanya anggun dan cantik-cantik, aku minder dan tidak
percaya diri. Satu persatu kontestan menunjukkan kelihaiannya berjalan
di panggung layaknya seorang model terkenal. Aku mengumpulkan keberanian
dan rasa percaya diri yang tinggi. Aku mesti bisa dan aku tidak ingin
mempermalukan diriku sendiri, serta tidak ingin membuat Ferdy kecewa.
Ferdy senyam-senyum memeperhatikanku disana. Aku tidak sabar segera naik
keatas panggung, ingin semuanya segera selesai dan berakhir, tidak
tahan dengan semuanya yang aku alami gara-gara permintaan bodoh Ferdy.
Tibalah
giliranku naik keatas panggung dan berjalan seperti model. Kulihat
pandangan para juri yang kurang begitu suka melihatku, mungkin aku
terlihat anak yang norak dan tidak memiliki suatu kemampuan untuk
menjadi seorang model. Tapi aku harus melakukan, karena terlanjur
berjanji sama Ferdy, setidaknya aku suka dia tersenyum. Kubuang rasa
takutku, tidak tahu darimana asalnya, aku begitu percaya diri berjalan,
seperti ada yang menuntunku untuk bergaya di depan sorotan kamera.
Melenggang mempertunjukkan body language-ku, yang aku pikir
sangat kampungan. Aku tak perduli juri mau memberi nilai aku apa, yang
jelas aku sudah menepati janjiku, dan menerima kado Ferdy, meski dengan
berkorban. Ku menghargai sifat baik Ferdy.
Rasa senang sekali
ketika aku menuruni panggung setelah bergaya diatas panggung, lega
rasanya setelah melakukannya. Aku menghampiri Ferdy dan memukulnya
karena merasa gregetan padanya.
Para juri sibuk menilai-nilai
untuk menentukan juaranya. Sambil menunggu hasilnya, aku dan Ferdy makan
disebuah cafe sederhana yang terletak tidak jauh dari sana. Aku
ceritakan perasaanku mengenai apa yang barusan aku lakukan. Ferdy hanya
bisanya ketawa mendengarkan celotehanku....cekakacekikikan...aku jadi
geli melihatnya.
Setelah lama menunggu, tibalah saatnya pengumuman
siapa saja pemenangnya, semua kontestan disuruh naik keatas panggung.
Juri mulai membacakan para pemenang dimulai dari kategori terkecil,
hingga pada ketiga besar. Alangkah kagetnya ketika juri menyebut namaku
sebagai juara utama. Aku tidak bisa bergerak dan berkata-kata, aku tidak
percaya sama sekali. Apalagi dengan Ferdy, dia sangat bergembira
sekali, dia merasa usahanya berhasil.
Aku menceritakan semuanya kepada kedua orang tuaku, mereka senang sekali dan berterima kasih sekali kepada Ferdy.
Semenjak
aku terpilih sebagai juara utama pemilihan model, beberapa bulan
kemudian aku jadi sibuk, banyak kontrak kerja yang mesti aku lakukan.
Pemotretan sana sini, jadi bintang iklan dan jadi bintang tamu disebuah
acara talk show semuanya mengikat, merupakan suatu keharusan yang tidak
bisa aku tinggalkan. Perubahan-perubahan dalam hidupku bermunculan, aku
sudah tidak mengamen lagi, gitarku masih tetap berada diorang yang
dikenal Ferdy. Orang tuaku juga berhenti memulung, aku bisa membeli
rumah, membawa kedua orang tuaku kepada kehidupan yang serba tidak
kekurangan, hidupku membaik tidak susah lagi. Bagaimana dengan Ferdy?
Aku tidak lupa dengan pengorbanan dia. Berkat dia aku bisa hidup seperti
ini, aku sekarang berada diatas, ini bukan mimpi, nyata dan benar.
Beberapa kali aku tawarkan dia minta apa saja, tapi dia tidak mau. Aku
tidak akan melupakan dia dan pengorbanan dia, aku berusaha tidak berubah
di mata dia, tetap seorang Jingga yang dia kenal.
Ferdy mendukung
semua dengan apa yang aku lakukan, dia senang sekali tiap kali aku mau
melakukan sesi pemotretan atau menjadi salah satu bintang tamu di sebuah
acara talk show. Hingga beberapa hari kemudian aku bercerita kepadanya,
jika aku mendapat tawaran untuk sebuah produk yang mesti melakukan
pemotretan di Paris. Ferdy mengiyakan aku untuk ikut, dia antusias
sekali, dan menyuruhku untuk tidak menolak tawaran itu. Jika aku
menolaknya, dia mengancam tidak mau berteman dengan aku lagi. Tentu saja
aku tidak menolak tawaran itu, takut Ferdy meninggalkanku. Meski berat
rasanya meninggalkannya dan meninggalkan kedua orang tuaku,
bermacam-macam alasan aku lontarkan, agar aku bisa menolak tawaran, tapi
Ferdy terus memaksa, membuat aku mengiyakan.
Sehari sebelum
berangkat ke Paris untuk melakukan pemotretan aku menemui Ferdy ditempat
biasa kami mengamen untuk berpamitan kepada Ferdy. Aku juga titip kedua
orang tuaku ke Ferdy. Ada perasaan yang mengganjal melarangku untuk
pergi, ada hal yang membuatku berat meninggalkan dia. Tapi aku tidak
bisa, aku mesti harus pergi, jika tidak ferdy akan meninggalkanku. Aku
mulai menyukai Ferdy, merasakan benar-benar tidak sanggup untuk berpisah
dengannya, dia sangat berarti untukku selain kedua orang tuaku.
"Fer, besok aku berangkat ke Paris untuk beberapa minggu," kataku dengan suara pelan.
Dia mengangguk, dan tahu betul dengan keadaanku yang tidak ingin pergi.
"Jingga,
pergilah....ini adalah kesempatan kamu, saatnya kamu jadikan impianmu
jadi kenyataan....impian yang kamu impikan semenjak kamu kecil, buktikan
kalo kamu bisa."
Ferdy tersenyum, memberikan semangat-semangat
yang melegakanku untuk meninggalkannya. Aku senang melihatnya, itulah
seorang Ferdy, selalu ceria.
Aku dan rombongan pihak agency
model berang kat ke Paris, Ferdy dan kedua orang tuaku mengantarkanku
kebandara. Kami mengucapkan kalimat perpisahan, Ferdy tetap saja
memberikan semangat padahal perasaanku sangat gundah.
Perjalanan lama mengantarkanku ke Paris, dan sekarang aku berada di Paris.
Paris
benar kota yang sangat cantik, tidak salah jika banyak orang bilang
paris adalah kota mode dan romantis. Tidak ada waktu untuk beristirahat,
setelah sampai di paris, aku langsung melakukan pemotretan sana-sini,
sangat melelahkan.Managerku mengenalkanku dengan seorang model yang juga
asli indonesia namun lama hidup di paris, dia mengatakakn jika kami
bekerja sama dalam suatu product dengannya, komunikasi kami lancar
karena kami sama-sama berasal dari indonesia. Namanya Rania, usianya
kira-kira 28 tahun lebih tua empat tahun dariku, oarangnya menyenangkan
dan supel sekali, dia banyak cerita tentang dirinya, yang membuat aku
terharu ketika dia bercerita, adik laki-lakinya pergi meninggalkan rumah
karena alasan tidak mau pindah ke paris, sampai sekarang dia tidak
bertemu dengan adiknya.Seringnya kami bertemu dalam bekerja sama, kami
jadi akrab tidak ada suatu kecanggungan bagi kami berdua, kami saling
berbagi.
Sudah lima hari kami melakukan pemotretan, aku jadi
sedikit melupakan ferdy dan kedua orang tuaku, bodohnya aku, meskipun
aku sudah cukup mapan, aku tidak memiliki sebuah handphone, jadi tidak
bisa menghubungi mereka, hanya doa dan rasa rindu yang aku utarakan
melalui udara dingin paris, semoga mereka juga merindukan aku.
habis
melakukan pemotretan aku punya waktu beberapa jam untuk istirahat, aku
ajak rania untuk membeli sebuah handphone, dia pasti sangat tahu betul
dimana aku harus membeli karena dia lama dan tahu betul dengan kota
paris. Akmi mengunjungi pusat perbelanjaan, dan membeli handphone, juga
tidak lupa aku juga membelikan satu untuk ferdy.
"Banyak sekali kamu beli handphone"Kata rania
"tidak untukku semua"
"buat orang spesial ya?, pasti pacar"dengan nada menggoda
"tidak....hanya untuk seorang yang sangat berjasa dalam hidupku"
setelah
kami mendapatkan beberapa handphone kami balik ke tempat
pemotretan.Selang beberapa menit kemudian,handphone rania berbunyi,
setelah berbicara beberapa kata wajah rania berubah, yang sebelumnya
sangat senang sekali berubah sedih. dia memutuskan harus pergi segera,
tidak bisa melanjutkan pemotretan, segera balik ke indonesia karena
adiknya telah ditemukan dalam kondisi yang kritis karena mengalami
kecelakaan dan sekarang sedang dirawat di unit gawat darurat. apa boleh
buat aku harus jadi model suatu product sendirian, aku dan kru yang lain
maklum dengan keadaan rania, jika aku jadi dia, aku juga melakukan hal
yang sama seperti apa yang dia lakukan.Sebelum pergi rania memberikan
nomor handphonenya, aku segera mencatatnya.
setelah beberapa hari
rania balik ke indonesia, aku juga balik ke indonesia, itu artinya aku
telah menyelesaikan semua tugasku sebagai seorang model, aku sudah tidak
sabar sekali ingin segera bertemu dengan kedua orang tuaku dan juga
ferdy, kangen dengan masakan buatan ibu, kangen dengan candaan ferdy,
dan kangen dengan tanah kelahiranku.Perasaanku berbunga-bunga senangnya
tak kepalang, banyak cerita yang mesti mereka dengar dariku.
Sore
hari aku tiba di bandara, di temani dengan hujan rintik-rintik, rupanya
kedua orang tuaku sudah menunggu ditempat penjemputan, langsung kupelum
mereka.Mereka ingat betul kapan aku memberitahukan kalo aku balik ke
indonesia, mereka menunggu sekitar empat jam dibandara katanya, aku
yakin mereka bosan sekali menungguku. Terasa ada yang tertinggal,
ferdy.. ya dia, kemana dia?.
"mana ferdy?"tanyaku
"Sudah empat hari ini kami tidak melihatnya......dia juga tidak kerumah"jelas ayahku
aku
merasa khawatir sekali, apa yang terjadi pada dirinya, apakah dia pergi
meninggalkan aku?, aku tidak mau berlama-lama berada di bandara,
bergegas pulang kerumah, dan segera menumui ferdy, pasti dia sedang asik
mengamen hingga lupa untuk menjemputku.Aku jadi ingin marah sekali
padanya.Setibanya di rumah, sudah tersedia banyak makanan yang dimasak
oleh ibu.
"wow banyak sekali...di paris tidak ada makanan kayak gini, disana kebanyakan roti"kataku
"adu..aduh anak ibu......jadi kurus begini masalahnya karena kebanyakan roti ya....?"canda ibu"
"ibu...boleh ga aku mengundang ferdy untuk makan bareng?"pintaku
"tentu saja boleh...ibu sangat senang jika dia ada disini, ibu menganggap dia seperti anak ibu, iya kan pak?"
ayahku mengangguk
aku
berlari menuju ke bawah jembatan layang untuk menemui ferdy, aku yakin
sekali dia berada disana.Setibanya disana aku tidak menemui dia, aku
tanyakan kepada setiap anak jalanan yang berada disana, orang warung
langgananku,dan pedagang-pedagang asongan, tapi yang aku dapatkan
hanyalah reaksi gelengan kepala sebagai tanda mereka tak tahu. Badanku
sangat capek sekali, sejak balik dari paris, aku tidak lanjut untuk
mencari ferdy, memutuskan balik kerumah.
Beberapa hari ini aku
tidak menemukan ferdy, entah dimana dia berada, dan sedang apa yang dia
lakukan, aku hanya terdiam dirumah, berbaring ditempat tidur sambil
berfikir berharap ferdy segera kembali, aku merasakan suatu kehilangan
yang sangat besar dan berartinya dia bagiku. ku ambil handphone yang
ingin aku berikan kepada nya, aku mengotak-atiknya, memencet-mencet
setiap menu yang ada, berharap sekali handphone ini dibawah oleh ferdy,
sehingga aku bisa menanyakan banyak hal dan bercerita padanya. kutulis
no handphoneku didirectori handphone itu. kemudian ku matikan.
aku selalu membawa handphone itu tiap kali aku keluar rumah
Saat
aku ingin memejamkan mata, dering handphoneku berbunyi, terlihat nama
rania. Dia memeinta maaf kepadaku karena tidak bisa melanjutkan
pemotretan, serta menanyakan keberadaanku. Aku juga menanyakan padanya
mengenai keadaan adiknya, dia terdiam kemudian menangis sesenggukan, aku
tidak tega mendengarkan.
"besok udah bisa di bawa pulang kerumah, kata dokter"kata rania dengan terbata-bata
Dari suaranya aku sangat yakin, keadaan adiknya tidak begitu baik
"Aku senang, adikmu sudah baikan, boleh ga aku besok menjenguk adikmu?"
"iya, boleh..."
aku tanyakan alamat rumahnya, setelah memeberikan alamat rumahnya padaku, percakapan kami berakhir.
besoknya
Aku
cari-cari mengelilingi tiap komplek yang sesuai dengan alamat rumah
rania yang dia berikan padaku, muter-muter kutanyakan pada tiap orang
yang aku temui.
"tahu alamat ini pak?"tanyaku
"o....,neng jalan lurus kemudian belok ke kanan, tiga baris dari depan, itu rumahnya'kata seorang laki-laki tua
"terima kasih pak"
aku melanjutkan perjalanan
sebuah
rumah megah berpilar tinggi, sangat mewah seperti istana, disitu
alamatnya.kemudian ku pencet bel yang menempel di dinding. seorang
pelayan keluar membukakan pintu dan menyakan siapa dan keperluanku,
setelah ku jelaskan aku dipersilahkan masuk dan duduk menunggu rania di
ruang tamu.
tidak lama kemudian dia datang
"Hai ..jingga"dia menyapa sambil memelukku
aku senang sekali dapat bertemu dengannya
"sendirian?"
aku
mengangguk, kami sedikit mengobrol dengannya sebelum aku bertemu dengan
adiknya. selang beberapa menit Kemudian dia membawaku untuk menemui
adiknya.
adiknya sedang duduk di kursi roda dekat kolam renang,
terdiam termenung sendirian, aku mendekati dirinya, sepertinya aku kenal
sekali dengan sosok itu, tidak asing bagiku. ferdy.... mungkinkah dia?.
hatiku kuat mengatakan kalau itu ferdy, setelah dia menoleh kearahku,
ternyata aku salah, dia bukan seorang yang aku kenal. dia hanya diam,
tak berkata apa-apa, aku mengerti dengan keadaannya. Sangat tragis
keadaannya, gara-gara kakinya di amputasi, dia mesti berjalan memakai
kursi roda. Sangat sulit baginya melihat kondisinya yang begitu.
aku
tersenyum padanya, namun dia tidak membalas senyumanku sama sekali,
rania memandangiku seakan-akan berbicara kalau adiknya sedang putus asa
tidak bisa menerima kenyataan pahit ini.
setelah menjenguk
adiknya, aku tidak berlama-lama berada di rumah rania. Aku mesti pulang
kerumah. semenjak aku aku kehilangan ferdy, aku males jalan-jalan
sendirian atau bersama yang lainnya, aku kangen sekali dengan ferdy.
***
setibantya dirumah, aku langsung masuk ke dalam kamar
Didalam
kamar aku membayangkan segala hal mengenai awal pertemuanku dengan
ferdy, ketika ngamen, makan, bergurau, dan jalan bareng. Kenangan lama
itu melekat jelas teringat dipikiranku, aku ingin dan rindu sekali
seperti dulu lagi, saat aku bersama dirinya, rasa rindu ini bikin sesak
dadaku. dia yang menghiasi hidupku dengan berbagai warna dan rasa,
hidupku begitu indah, bahagia berada didekatnya. aku tidak tahu mengapa
dia pergi begitu saja tanpa memberikan alasan yang jelas. aku
bertanya-tanya apakah diriku telah berbuat salah padanya, aku merasa
diriku bersalah padanya.
"tok.tok.tok ....jingga...jinga apakah kamu ada didalam?"
suara ibu mengetok-ngetok pintu kamarku sedikit mengejutkanku dan membuyarkan bayangan tentang ferdy
aku keluar dari kamar menemui ibu
"ada apa bu?"
"ini, tadi ada seorang perempuan menitipkan sebuah undangan untuk kamu"
aku
terima undangan itu, kemudian masuk kembali kedalam kamar, Aku
membacanya sekilas tidak terlalu perduli.Tiap minggu aku banyak sekali
menerima macam-macam undangan, semua undangan yang datang kubaca acara,
tempat dan waktunya saja. tak perduli itu undangan dari siapa dan untuk
acara apa, terkadang aku salah costum karena tidak membaca lebih jelas
tentang undangan yang datang, tapi aku tidak perdli. undangan barusan
menyebutkan acaranya dilangsungkan dua hari kedepan pukul 10.00 pagi.
setelah membacanya kuletakkan di atas meja riasku.
seharian penuh
aku habiskan hari-hariku didalam kamar, tiap kali handphoneku berbunyi
aku tidak mengangkatnya, ibu khawatir sekali melihat keadaanku yang
sedikit berantakan, dia tahu betul mengapa aku begitu, sesekali dia
marah kepadaku semata-mata agar aku bisa beraktifitas, tidak berdiam
diri seperti orang yang tidak sehat, tapi benar, sekarang ini aku lagi
tidak sehat penyebabnya karena ferdy, dialah obat dari rasa sakitku.
2 hari kemudian
Karena
ibu terus memarahin aku yang terus bermales malesan didalam kamar,
lama-lama telingaku panas juga. Akhirnya aku ambil undangan yang
kuletakkan dimeja rias, kubaca sekali lagi tempat dimana acara itu akan
dilangsungkan, kemudian aku berdandan rapi, memakai gaun putih, aku jadi
teringat ketika ferdy menyuruhku untuk memakai gaun putih untuk
mengikuti pemilihan model, indah sekali rasanya hari itu. Aku bergegas
berangkat berpamitan ke ibu untuk menghadiri undangan itu.
Aku
tahu, pemilik acara adalah orang kaya, terlihat dari bentuk dan design
undangan yang mewah, pasti banyak orang yang ga jelas menghadiri acara
itu. setibanya disana, sesuai dengan dugaanku, banyak orang yang ga aku
kenal, aku canggu sekali memasuki ruangan yang sudah penuh oleh para
undangan, tidak hanya itu aku semakin canggung karena datang sendiri,
untungnya ada rania, aku sedikit kaget ketika dia menyapaku, ternyata
dia juga diundang. Dia datang bersama seorang cowok, aku berpikir kalau
cowok yang sedang bersamanya adalah pacarnya, ternyata tidak, cowok itu
adalah adik keduanya, sedang yang mengalami kecelakaan adik ketiganya.
"ko...datang sendirian?'tanya rania
aku
bingung mencari alasan yang tepat untuk menjawab pertanyaan rania itu,
belum aku memberikan jawaban dia mengenalkanku pada adiknya
"oh
iya, jingga, kenalkan, ini adikku namanya marco......dia baru saja
datang dari london, dan juga baru namatin kuliahnya di jurusan bisnis,
sekarang dia kerja diindonesia"
cowok itu tersenyum ramah kemudian menjabat tanganku.
tidak
tahu mengapa aku dan marco cepat begitu akrab,selama acara belum
dimulai aku terus bersama rania dan marco, kami saling bercerita dari
hal yang ga penting sampai hal asmara kita masing-masing. marco baru
saja putus dengan pacarnya, alasannya pacarnya tidak mau jika marco
bekerja dan tinggal di indonesia. marco juga menjelaskan bagimana dia
bisa sampai hadir di acara itu, acara itu adalah acara pernikahan teman
bermainnya sewaktu masih kecil, marco dan dia akrab sekali, mangkanya
dia menghadiri undangan itu. aku jadi penasaran siapakah temannya itu,
aku jujur tidak tahu siapa pemilik acara dan yang mengundangku untuk
menghadiri acara pernikahan itu.
marco bercerita kalau temannya
yang mau menikah itu minggat dari rumahnya, tidak mau dijodohkan oleh
orang tuanya dengan anak orang kaya dari denmark, padahal orang tua
temannya sudah menjodohkannya sewaktu temannya itu masih balita. aku
sedikit perihatin dan dan sedikit geli mendengarkan cerita marco
barusan.
"lalu sekarang temanmu?'tanyaku
"dia setuju dengan
perjodohan itu...mangkanya sekarang dia menikah, alasannya dia menerima
perjodohan itu karena ibunya sakit keras...dia tidak tega melihat ibunya
yang sakit dan menderita, ibunya terus meminta dia untuk setuju dengan
perjodohan itu......ya, akhirnya dia setuju"
tidak lama kemudian
acara dimulai, marco tersenyum lebar karena bakal melihat temannya
menikah, aku terus memandang kedepan, semua undangan yang lain juga
memandang kedepan tidak sabar untuk melihat kedua mempelai.
keluarlah kedua mempelai
betapa terkejutnya aku
"Assssstaga......!!!!!!!!!!!!!!!"
Ternyata
itu ferdy, pria yang bersanding dengan mempelai wanita itu benar-benar
ferdy, aku tak bisa mempercayai semuanya, badanku seketika mengaku,
bibirku tidak bisa berucap, tangan dan kakiku tidak bisa kugerakkan,
mataku sediki demi sedikit mengabur,aku mulai mati rasa namun aku
berusaha untuk kuat.meskipun hatiku hancur, sangat dan benar-benar
hancur.
Air mataku jatuh tak tertahankan, terlihat disana ferdy
terus memandangiku yang tak bisa bergerak, mungkin dia tahu jika aku
sangat terpukul sekali dengan kejadian ini. Tuhan mengapakau hadirkan
dia untukku jika pada akhirnya hanya untuk membuatku menderita.
***
Sejak
ferdy hidup bersama istrinya. Hari-hariku ku habiskan bersama marco,
dia yang terus membantuku untuk bisa melupakan ferdy dan tidak
membencinya, meskipun tak seperti ferdy, namun marco setia dan terus
memberikan perhatian padaku menemaniku,selaluada setiap aku butuhkan.
dua
tahun sesudah pernikahan ferdy, aku melangsungkan pernikahanku dengan
marco, aku tidak lupa untuk mengundang ferdy, dia datang bersama
istrinya, meskipun kami sudah menikah kami masih bersahabat, terkadang
ferdy dan istrinya datang kerumah untuk ngumpul bareng, dan terkadang
aku dan marco yang datang kerumah ferdy.
"Hal termanis yang
pernah aku punya, ketika aku mengenalmu." "Kau datang membawa segudang
kebahagiaan dan tawa." "Kau pergi memberiku kesedihan dan kehancuran."
Antara Cinta Dan Persahabatan
Aku
tidak pernah berpikir jika hidupku bisa beranjak naik tingkatan setelah
bertahun-tahun aku dan kedua orang tuaku hidup dalam kemiskinan dan
menderita, selalu menerima ejekan orang-orang, dipandang sebelah mata,
menyambung hidup dengan bermodalkan gitar kecil dan suara yang tidak
begitu enak untuk didengar. Aku merasa bahwa hidupku digariskan Tuhan
sebagai orang miskin seterusnya yang hidup mengamen di persimpangan
jalan. Tapi, setelah aku mengenal Ferdy, hidupku jadi berubah total,
bahkan aku tidak bisa mempercayainya dengan apa yang aku alami sekarang
ini. Aku memiliki sebuah rumah yang besar, mobil mewah dan barang-barang
berharga lainnya. Tiap kali mau pergi kesuatu tempat ada sopir pribadi
yang siap untuk mengantar kemanapun aku mau pergi. Lain sekali ketika
aku masih miskin, tinggal disebuah rumah kardus dibawah jembatan layang,
tiap mau pergi kesuatu tempat mesti jalan kaki untuk menempuhnya.
Hidupku penuh kemudahan semenjak perubahan hidup yang aku alami. Aku
bersyukur sekali, karena Tuhan masih sayang dan merubah hidupku melalui
seorang Ferdy, seorang yang tidak pernah aku ketahui secara lengkap
darimana dia berasal. Cowok berusia 24 tahun, wajahnya tidak begitu
ganteng, nggak begitu suka dandan, namun ada satu hal yang aku kagumi
dari dirinya, yaitu ketekunan dan kepinteran yang dia miliki.
Pagi
itu, hari sangat cerah sekali. Aku terjaga dari tidur, kemudian
bergegas membersihkan badanku dengan beberapa bilasan air, kemudian
pergi ke tempat biasa, tidak lupa sebelumnya berpamitan kepada kedua
orang tuaku. Di persimpangan jalan, tidak jauh, sekitar lima ratus meter
dari tempat aku tinggal, aku bekerja untuk menyambung hidup dengan
mengamen. Mulai sejak tamat sekolah dasar, aku selalu melakukan
pekerjaan ini, jika tidak begini aku tidak bisa hidup. Darimana lagi aku
bisa makan jika tidak mengamen, ini merupakan keahlian seni musik
satu-satunya yang aku dapat di sekolah dasar dulu. Lumayan buat cari
uang, daripada aku minta belas kasihan orang tanpa bekerja. Kedua orang
tuaku tidak tiap hari mendapatkan uang, mereka hanya bekerja sebagai
pemulung barang sisa minuman dan kardus. Karena itu aku tidak lanjut
sekolah kelebih tinggi lagi, namun aku masih bisa membaca dan berhitung,
terkadang orang tuaku mengajariku meski tidak sehebat seorang guru
kebanyakan. Aku tidak pernah menyesali dengan hidup miskin dan memiliki
kedua orang tua seperti mereka. Orang tuaku mengajariku untuk selalu
berusaha dan pantang menyerah menjalani hidup ini, mereka selalu
mengajariku untuk selalu ingat kepada Tuhan.
Saat aku sampai dan
akan memainkan gitar, alangkah terkejutnya aku, seorang cowok seumuranku
dengan seenaknya bernyanyi dan menerima uang pemberian orang-orang di
tempat biasa aku mengamen. Aku mengenal betul, siapa saja yang mengamen
di sekitar tempat itu, namun kali ini aku tidak tahu siapa cowok itu.
Padahal sudah ada aturan tidak boleh menempati daerah orang lain
bekerja, setiap daerah sudah ada yang menempati, sudah dibagi-bagi sejak
dulu. Kalaupun ada pendatang baru harus melapor terlebih dahulu. Dia
memainkan gitarnya dengan lihai.
Aku mendekati dirinya
yang sedang bersandar di pilar jembatan layang dengan asyik menghitung
uang koin yang didapatnya dari hasil menyanyinya. Dari raut mukanya
terlihat sekali kalau dia senang sekali, dan tidak merasa berbuat suatu
kesalahan apapun.
"Anak baru ya?," tanyaku
Dia mengangguk tanpa berkata apapun, aku sedikit kesal padanya karena tidak memberikan jawaban
"Darimana?"
Dia hanya diam dan sekali lagi tidak memberikan jawaban
"Kamu datang dari mana?," tanyaku sekali lagi, agak membesarkan volume suaraku
"Apa urusannya denganmu?," jawabnya rada sewot
Aku
tidak sabar ingin menghajarnya, namun hati kecilku mengatakan untuk
tidak melakukannya, aku berusaha menenangkan diriku menahan sabar.
Awalnya aku ingin tidak memperdulikan dia, namun mau gimana lagi
ladangku dipakai oleh seorang yang dengan seenaknya sendiri menempati
tempatku tanpa minta izin terlebih dahulu.
"Kalo kamu mau dapat uang, mari kita bernyanyi bersama," katanya
"Apa???? Maksudmu ngamen bareng?"
"Iya, kita ngamen bareng"
"Kamu tahu..., kamu telah berbuat kesalahan kepadaku."
"Kesalahan
apa? Aku tidak pernah mengenalmu dan aku juga tidak pernah bertemu
dengan kamu, terus aku berbuat salah apa terhadap kamu?"
Aku makin
tidak sabar untuk menghajarnya sampai babak belur, biar kakinya tidak
mampu berdiri dan mukanya memar-memar. Tanganku mulai gatal, begitu juga
kakiku mulai kesemutan ingin menendangnya, namun aku tak kuasa untuk
melakukannya. Ada suatu perasaan yang menghalangiku untuk tidak
melakukannya.
Aku terdiam sejenak, setelah mendengar perkataannya barusan.
"Ayo.....!! Mau ga?,"ajaknya
"Ga......!!
Ini tempatku dan aku yang pertama dan sudah lama aku mengamen di sini.
Sedangkan kamu baru pertama kali di sini, aku rasa kamu mesti pergi dari
sini, kamu itu mengganggu"
Tanpa berkata-kata lagi dia pergi menjauh meninggalkan aku, lalu duduk bersandar di pot bunga yang berada di bawah tepat fly over.
Mungkin aku terlalu berbuat kasar pada dirinya, aku juga tidak mau ini
terjadi. Aku membiarkan dirinya berada di sana, aku mulai memainkan
gitarku dan bernyanyi. Sesekali aku pandangi dirinya, masih tetap saja
terdiam di sana tidak beranjak kemana-mana. Aku lega dia tidak berbuat
onar, tidak seperti pengamen yang lain jika diusir meninggalkan sisa
perbuatan yang tidak menyenangkan. Tapi dia sangat berbeda sekali dengan
pengamen yang selama ini aku temui atau aku kenal, dia tidak ada
tampang sama sekali sebagai seorang pengamen.
Setelah aku
mendapatkan cukup uang, aku membeli nasi bungkus dan sebotol minuman
mineral di warung langgananku. Aku masih memerhatikan dia yang masih
duduk di pot bunga, aku jadi tidak tega melihatnya, kemudian kuputuskan
untuk membeli makanan dan minuman untuk dirinya.
"Ni....," aku menyodorkan makanan dan minuman
"Untukku?"
Aku
mengangguk, dia membalas dengan tersenyum, kemudian kami makan bareng.
Kami berdua tidak mengeluarkan sepatah katapun selama makan.
"Terima kasih ya," katanya
"Terima kasih untuk apa?"
"Untuk makanan dan minuman yang kamu berikan."
"Itu tidak gratis ya."
"O...kalo gitu aku mesti bayar berapa?"
Aku tersenyum....... "Tidak, kamu tidak usah bayar, aku bercanda ko. Aku minta maaf ya, atas perbuatanku yang kasar mengusirmu."
"Tidak, seharusnya aku yang minta maaf, tidak seharusnya aku menempati tempat kamu bekerja. O iya, kenalkan namaku Ferdy"
"Jingga"
"Nama yang sangat cantik, seperti orangnya," katanya
"Gombal"
Aku tersipu malu mendengar perkataannya barusan. Saat itu aku tahu namanya, mulai sejak itu juga kami ngamen bareng.
***
Sudah
enam bulan berlalu, aku mengenal Ferdy, aku pikir dia anak yang sama
dengan anak yang selama ini aku ketahui, anak jalanan yang banyak
tingkah, awut-awutan, hidupnya berantakan, bikin onar sana sini. Tapi
tidak, dia seorang yang baik dan menyenangkan, memiliki selera humor,
tidak terlalu banyak tingkah, juga tidak mudah marah mendengar
perkataanku yang terkadang menyakiti dirinya. Dia rela tidak mengamen
sebelum aku datang. Sebelumnya aku tidak mempunyai seorang teman yang
bisa aku ajak untuk berbagi suka dan dukaku. Seorang Ferdy yang bisa
membuat aku untuk bercerita dan berbagi kisahku. Dia juga mengajarkanku
dan memberikan suatu hal tentang arti seorang teman. Dia seperti obat
bagi kehidupanku, setiap kali aku berada di dekatnya, ada perasaan yang
begitu hebat, perasan yang kuat, perasaan yang tidak mampu aku pahami.
Kali
ini Ferdy mengajakku untuk mengamen di bus, sudah jenuh mengamen di
persimpangan jalan katanya. Awalnya aku menolak karena aku tidak
terbiasa mengamen di dalam bus, selain itu aku tidak ingin berbuat ribut
dengan pengamen yang lain. Setelah Ferdy memaksa dan memberikan banyak
keyakinan kepadaku aku mengiyakan ajakannya. Pertama kali kami mengamen,
kami takut dengan pengamen yang biasa mengamen dibus, takutnya kami
dituduh macam-macam. Untungnya ada seorang bapak-bapak yang juga seorang
pengamen memberikan ijin kami untuk mengamen. Kami mulai mengamen di
dalam bus, tidak perduli kemanapun bus berjalan membawa kami. Lagu
pertama yang kami bawakan lagu kepunyaan mendiang almarhum Nike Ardilla,
Izinkan. Kami berdua menikmati membawakan lagu tersebut, kami sama
sekali tidak canggung karena terbiasa ngamen bareng. Satu hal yang
membuatku kurang nyaman tidak seperti mengamen di persimpangan jalan
adalah pada waktu bus berhenti secara mendadak, membuat aku dan ferdy
mesti waspada agar tidak terjatuh. Setelah aku selesai menyanyi, Ferdy
menerima uang seikhlasnya dari para penumpang.
Saat kami hendak
meninggalkan bus setelah menerima uang dari hasil mengamen, seorang anak
kecil, kurus, berpakaian warna merah, tanpa berkata apa-apa memasukkan
secarik kertas ke kantong Ferdy sambil nyengir. Kami tidak tahu kertas
apa itu, Ferdy tidak berbuat apa-apa pada kertas itu, dia sama sekali
tidak memperdulikannya.
Kami menikmati sekali hari ini, karena
mendapatkan banyak uang. Sejenak singgah di sebuah warung membeli
makanan. Kami berdua tidak tahu berada dimana, tapi kami tidak sangat
khawatir dengan hal itu, kami terlalu menikmati apa yang barusan kami
lakukan, pengalaman pertamaku yang begitu berkesan yang tidak pernah aku
lakukan sebelumnya.
"Kamu suka?," tanya Ferdy padaku
"Kamu?," aku tanya balik
Dia
mengangguk, aku juga mengangguk, kemudian kami ketawa bareng, tidak
memperdulikan orang-orang yang memperhatikan kami. Setelah itu kami
pergi meninggalkan warung, menyusuri jalanan untuk mencari halte tempat
bus berhenti.
Hari sudah mulai sore, kami terdiam di sebuah halte
cukup lama, sekitar tiga jam lamanya, namun tidak satupun ada bus yang
lewat.
"Gimana ni Fer? Sudah lama kita nunggu, tapi gak satupun bus ada yang lewat," aku rada panik.
"Sabar, kita tunggu saja."
Aku
tidak bisa berbuat apa-apa lagi kecuali hanya menunggu. Untuk
menghilangkan penat sesekali Ferdy memainkan gitarnya. Dia menyuruhku
untuk bernyanyi, tapi aku menolak permintaannya. Hatiku was-was karena
takut tidak bisa kembali, selain itu kedua orang tuaku pasti sangat
khawatir sekali. Berbeda sekali dengan Ferdy yang sangat santai dan
tidak ada rasa khawatirnya sama sekali. Ferdy sangat tahu betul jika aku
tidak tenang, dia memandangiku sesekali tapi aku tidak
memperdulikannya. Kemudian dia menyuruhku duduk di sampingnya, aku
menerimanya. Dia mengatakan hal-hal yang bisa membuatku tenang. Aku
tidak tahu kenapa, tiap kali berada di dekatnya, aku merasakan sesuatu
yang bisa membuatku tenang. Kami terlibat dalam sebuah percakapan,
sambil menunggu sebuah bus lewat mengantarkan kami kembali.
‘Jingga, kalo boleh nanya, cita-cita kamu, apa sih?," Ferdy bertanya kepadaku
"Kalo ga boleh nanya dan aku ga mau jawab, gimana?"
"Iya
ga masalah, ga maksa..tapi aku yakin kamu pasti punya keinginan dan
impian. Setiap orang kan punya itu, ga percaya kalo setiap orang ga
punya keinginan dan impian. Meskipun terkadang keinginan itu tidak
pernah tercapai, tapi kalau kita percaya dan berusaha pasti bisa
tercapai."
"Cita-citaku selagi aku masih kecil aku ingin sekali menjadi seorang model terkenal. Itu dulu Fer, sekarang sudah tidak lagi."
Aku
berfikir Ferdy akan menertawakanku mendengar pengakuan barusan. Melihat
fisik dan nasibku yang seperti ini bagaimana bisa aku menjadi seorang
super model seperti Gisele Bundchen dengan bayaran yang tinggi, memiliki
segalanya, wajah cantik dan postur tubuh ideal cocok jadi model. Cara
berjalan dan pose di depan kamera sudah biasa. Sedangkan aku jauh dari
seperti itu, berpose di depan kamera saja aku tidak pernah, cara
berjalan seperti model tidak sama sekali aku lakukan. Terakhir hanya
melihat di televisi tanpa warna dan rada ada semutnya akibat antenanya
yang kurang pas, acara pemilihan miss Indonesia cara jalan melanggang di
atas stage para kontestannya, itupun aku lihat di tempat aku biasa membeli makan.
"Jadi model?.... Bisa terkenal, setiap berpenampilan dan gaya ditiru oleh banyak orang, dipotret sana-sini."
Ternyata
aku salah, Ferdy tidak menertawakanku atau menghina-hina aku, malah
sebaliknya dia mendukungku dan memberiku semangat. Meskipun aku rasa
mustahil bakal terjadi dan aku membuang impianku itu jauh dan sejauh
mungkin, itu hanya sekedar keinginan yang tidak akan pernah aku raih.
Bagaimana mungkin bisa aku menjadi seorang model, buat beli makan dan
minum saja sulit, pakaian hanya memiliki tiga potong. Selalu berada di
jalanan.
Entah apa yang ada di pikiran Ferdy, mengapa dia sangat
baik sekali dengan aku, sering memberiku semangat dan perhatian yang
terkadang aku merasa sedikit risih.
"Kalo kamu pikir, masih ga, aku bisa menjadi seorang model?,"aku bertanya sekedar basa-basi
"Jingga,
kamu cantik dan postur kamu tinggi, kamu bisa menjadi seorang model,
bahkan seorang super model. Aku tahu kamu kurang percaya diri dan tidak
kamu sadari kalo diri kamu itu cantik."
Aku nyengir, sama sekali
tidak mempercayai kalimat yang diucapkan oleh Ferdy barusan, kalimat
yang sekedar untuk basa-basi mengisi waktu luang agar suasana tidak
garing saja. Tapi benar apa yang dikatakan oleh Ferdy, aku tidak
memiliki kepercayaan diri yang tinggi, karena aku sadar dengan posisiku,
dan terlalu berhayal terlalu tinggi yang tidak mungkin terwujud.
Rintik-rintik
hujan turun sedikit-demi sedikit membuat dingin keadaan, mulai dari
tadi menunggu bus masih belum menampakkan tanda-tanda akan datang, aku
tetap semakin asik ngobrol dengan Ferdy. Kami terkadang serius dan
sesekali tertawa, aku tahu kedua orang tuaku pasti sudah sangat khawatir
sekali, tidak ada yang bisa kami perbuat lagi selain satu-satunya hanya
menunggu bus. Naik angkot itupun tidak mungkin, angkot tidak bisa
mengantarkan ke tempat tujuan kami.
"Jingga, kamu menggigil?."
"Tidak Fer, hanya....,"belum sempat melanjutkan kalimatku, Ferdy memotong kalimatku.
"Tidak Jingga, kamu menggigil, aku tahu itu."
Ferdy sedikit panik melihat keadaanku.
Ferdy
melepas jaket yang dikenakannya, menyuruhku untuk memakainya. Kemudian
Ferdy memelukku begitu lembut, tubuhku roboh di tubuh Ferdy, begitu
hangat yang aku rasakan, mataku mulai kabur, dan aku dalam kepayahan tak
berdaya.
***
Keesokan harinya
Aku terjaga dari tidur, sedikit kaget, karena aku sudah berada di rumah, padahal terakhir aku berada di halte bersama Ferdy.
Tiba-tiba suara ibu mengejutkanku
"Jingga, ayah dan ibu berangkat dulu, kalo kalo kamu makan, itu ibu sudah siapkan di tempat biasa."
"Iya, bu."
Yang
membuat aku teheran-heran, mengapa ibu tidak marah-marah padaku,
setidaknya ceramah panjang lebar karena aku membuat khawatir mereka.
Sebelum
berangkat ibu memberi kecupan dikeningku seperti biasa yang dia
lakukan. Belum sempat meminta penjelasan bagaimana aku bisa berada di
rumah, kedua orang tuaku sudah pergi untuk memulung. Aku tahu pasti
Ferdy yang membawaku, dia kan yang bersamaku kemarin, kalo bukan dia
siapa lagi? Tapi yang tidak abis pikir bagaimana dia tahu rumahku,
padahal selama ini aku dan dia hanya bertemu di tempat kami mengamen,
aku juga tidak pernah mengajaknya bermain ke rumah orang tuaku? Apalagi
mereka, tidak mungkin mereka pernah mengajak Ferdy ke rumah sebelumnya,
Ferdy ketemu dengan kedua orang tuaku juga di tempat biasa aku mengamen,
itupun dua kali mereka bertemu.
"Arrrghh, bodoh...yang jelas aku selamat sampai rumah!!!,"cetusku
Aku bergegas membersihkah tubuh, saat aku hendak melepas pakaianku yang aku kenakan, aku teringat sesuatu, ada yang tidak biasa.
"Ini kan jaket Ferdy"kataku dalam hati
Aku
tersenyum sendiri, kemudian mulai membersihkan tubuhku. Setelah
semuanya beres, aku pergi mengamen. Sudah bisa aku tebak, Ferdy sudah
berada di sana terlebih dulu, aku melihat dia sedang duduk di pot bunga
sambil asik bermain-main dengan gitarnya. Belum sempat aku menyapa, dia
lebih dulu menyapa aku, wajahnya berseri-seri terlihat jelas.
"Eh..akhirnya kamu muncul juga, lama banget aku nunggu kamu, molor mulu Non," katanya menggodaku.
"Seneng
banget kamu........tumben sekali sebegitu cerianya, mau ngajak aku
ngamen di bus lagi? Kali ini aku tidak akan mau menuruti kemauanmu lagi,
aku sudah kapok...kalo kamu mau ngamen di bus, ngamen saja sendiri."
"Jangan marah dulu.....siapa lagian yang mau ngajak ngamen di bus?"
"Lalu?," aku penasaran
‘Makanya tenang dulu...aku punya kejutan untuk kamu."
"Kejutan? Seumur-umur tidak ada yang mau ngasih aku kejutan."
Ferdy
mengangguk, karena rasa penasaran apa yang akan diberikan Ferdy
untukku, aku jadi lupa suatu hal yang ingin aku tanyakan tentang kemarin
bagaimana aku bisa sampai di rumah.
"Kamu janji ya, mau ngelakuin untukku dan untukmu sendiri."
Aku terdiam sejenak dan berfikir, apa yang bakal diberikan untukku, bikin penasaran sekali.
"Tidak!!!...Kalo kamu macem-macem."
"Tidak kok.........tidak macem-macem, hanya hal kecil.........janji dech."
Aku sangat penasaran dan tertarik untuk menyetujui permintaannya.
"Baiklah......tapi kalo macem-macem aku tidak mau ngelakuin apapun."
"Oke...oke.......deal?"
"Deal," kataku
Kami berdua berjabat tangan sebagai tanda bahwa kami saling sepakat.
Tiba-tiba
Ferdy menarikku, bergegas terburu-buru. Tampaknya dia ingin membawaku
ke suatu tempat, aku tidak tahu dia akan membawaku kemana, kami berlari
menyeberangi jalanan. Melewati jalanan yang tidak pernah aku kunjungi
sebelumnya.
"Jingga, mana gitarmu?," pintanya
"Untuk apa Fer?"
"Udah tenang saja....tidak aku apa-apain ko......aku jamin aman."
Mendengar
kalimat barusan aku percaya, memberikan gitarku padanya. Aku mulai
sedikit lelah karena berlari. Jika saja aku tidak berjanji, aku tidak
akan melakukan hal ini.
Sejenak kami berhenti di depan toko.
"Tunggu di sini ya."
Ferdy
menuju ke sebuah rumah yang berada tepat di seberang jalan, tampaknya
dia kenal betul siapa pemilik rumah itu, dia titipkan gitarku dan
gitarnya pada orang tersebut. Kemudian dia menerima sesuatu dari orang
itu. kami berlari lagi tak tahu tujuannya kemana, Ferdy sepertinya sudah
merencanakannya sebelumnya.
"Kamu lelah ya, kalo lelah tahan bentar, karena tinggal beberapa belokan lagi kita sampai."
Aku nurut saja apa katanya.
"Nah...... sudah sampai,"
Aku
lega akhirnya sampai juga. Aku ngos-ngosan dan ambil nafas panjang,
tidak sempat untuk duduk Ferdy menyeretku masuk ke tempat yang tidak
pernah aku kunjungi. Dan aku tidak pernah perduli sama sekali dengan
tempat itu, suatu tempat yang tidak asing untuk kebanyakan wanita,
tempat untuk mempercantik diri, sebuah salon.
"Salon? Untuk apa kamu bawa aku ke tempat ini Fer....?"
"Udah tenang saja...kamu kan sudah janji akan ngelakuin apa yang aku katakan."
"Tapi..."
"Untuk kali ini saja Jingga, please," Ferdy memohon.
Kusetuju,
aku duduk di depan cermin berukuran besar yang membuat wajahku dan
seluruh badanku terlihat jelas. Aku jadi malu melihat diriku sendiri,
dan mulai berfikir, mungkin Ferdy tidak suka melihat wajahku yang lusuh
ini atau dia males ngeliat aku yang tidak bisa dandan, jadi dia
membawaku ke tempat ini. Aku ambil sisir yang berada tepat di hadapanku,
kugunakan untuk menyisir rambutku yang kaku, nyaman sekali rasanya.
"Pasti mahal,"kataku dalam hati.
Sedangkan
Ferdy menungguiku di depan sambil membaca majalah yang sudah disediakan
oleh pemilik salon. Seorang wanita cantik kira-kira berumuran 28 tahun
datang menghampiri Ferdy, percakapan terjalin antara mereka, aku hanya
melihat Ferdy mengangguk-angguk sebagai tanda dia setuju. Setelah
bercakap-cakap wanita itu menghampiriku.
"Selamat pagi," sapanya kepadaku sambil tersenyum.
Aku membalas senyumannya.
"Sudah siap di make over?,"katanya
Aku
hanya diam, tidak tahu apa yang dimaksud dengan perkataannya barusan.
Aku belum sempat menanyakan dan memberikan jawaban, dia sudah mulai
mengambil peralatan dan bahan kecantikan. Dia menyuruhku memejamkan mata
dan tidur terlentang di kasur khusus untuk perawatan tubuh, dia mulai
memainkan tangannya, melumuri wajahku dengan bermacam-macam cream
perawatan kecantikan, rambutku yang panjang dibikin sedikit berombak.
Hampir tiga jam aku didandani, seluruh tubuhku menjadi kaku.
"Oke...sudah selesai."
Aku
belum lihat bagaimana keadaanku setelah didandani, dia buru-buru
membawaku ketempat ruang ganti, dia menyuruhku memakai gaun berwarna
putih, indah dan cantik sekali. Aku sempat menolak permintaannya karena
aku pikir dia menyuruhku untuk membelinya, terus terang saja aku tidak
akan sanggup untuk membayarnya. Kemudian dia menjelaskan semuanya bahwa
semua biaya ditanggung oleh Ferdy. Aku terkejut sekali mendengar
penjelasannya, bagaimana bisa dan dari mana Ferdy mendapatkan uang.
Aku
memakai gaun putih itu, tapi aku tidak tahu hasilnya, wanita itu
memberikan reaksi yang salut , lalu mengatakan kalau aku cocok dan
cantik sekali menggunakan gaun itu. Tidak sabar ingin melihat diriku di
cermin. Aku berdiri di cermin, kupandangi diriku, aku sangat tidak
percaya sama sekali dengan diriku sendiri. Hal ini tidak pernah
sekalipun aku lakukan.
Jam menunjukkan 9.30, setelah membayar
semua perawatanku, Ferdy menghampiriku yang sedang bercermin, dia juga
memberikan reaksi yang sama seperti wanita itu.
"Ayo Jingga jangan lama-lama bercermin..kita hampir terlambat." ajaknya.
Aku bingung, ternyata permintaannya belum selesai, aku kira dia hanya minta diriku untuk menggunakan gaun ini.
"Kita mau ke mana lagi Fer..........?," tanyaku
Ferdy tidak memberikan jawaban, malah menggandengku keluar dari salon, kemudian memanggil tukang bemo.
"Bemo....bemo...bemo......"
Bemo berusia tua menghampiri kami, seorang sopir menanyakan pada kami ingin pergi kemana.
"Antarkan kami di mall ujung sana itu pak," kata Ferdy sambil menunjuk mall yang dimaksud
"Ayo jingga, naik"
Sebuah
bemo berangkat mengantarkan kami ke sebuah mall terbesar di Jakarta
itu. Aku tidak tahu apa yang di rencanakan oleh ferdy, pikiranku
menebak-nebak. Mungkinkah Ferdy mengajakku ngedate, oh sweat
sekali, jadi malu. Selama perjalanan aku pandangi wajah Ferdy, dia gugup
sekali, aku jadi tambah bingung. Aku jadi ingin tahu apa yang akan
dilakukannya, aku mulai memberanikan diri untuk meminta penjelasannya.
"Fer, jujur dech ....sebenarnya kamu tuh mau apa sih...jangan-jangan kamu ingin ngejual aku pada om-om ya?"
Ferdy ketawa, mendengar perkataanku barusan, sedangkan pak sopir ngeliat kami yang sedang ribut lewat kaca bemonya.
"Ha..ha
ha...tidak sejahat itu aku, Jingga, tidak mungkin aku ngejual kamu yang
sangat cantik gini, kecuali kalo kamu galak-galak aku tega ngejual
kamu."
Ferdy dan pak sopir sama-sama ketawa, aku malu dibuatnya.
"Bapak perhatikan dari tadi , ko romatis sekali kencannya," kata pak sopir dengan nada bercanda.
Kami
tiba di sebuah mall, Ferdy buru-buru membawaku kelantai tiga
menggunakan tangga escalator. Suasana disana ramai sekali oleh
pengunjung dan remaja, terlihat juga orang tua yang menggandeng anaknya.
Suara musik menanbah maraknya suasana. Seperti ada acara atau festival
semacamnya.
"Kamu mau nyanyi di sini, Fer?," tanyaku.
"Tidak Jingga."
Ferdy terdiam sejenak kemudian menjelaskan semuanya tentang kejutan yang akan diberikannya.
"Apakah kamu masih ingat dengan kertas yang diselipkan di kantongku oleh seorang anak kecil...waktu kita mengamen dibus?"
Aku mengangguk
"Kertas
itu adalah sebuah undangan untuk acara mengikuti kontes pemilihan
model.... Aku jadi berpikir daripada membuangnya. alangkah bagusnya jika
kamu mengikuti ajang pemilihan model itu. Ini adalah kado spesial yang
ingin aku berikan di hari ulang tahu kamu."
"Hari ulang tahunku?" aku terkejut
"Iya jingga, masa kamu ga ingat...sekarang adalah hari ulang tahun kamu," Ferdy meyakinkanku
Jujur
saja aku tidak pernah merayakan hari jadiku. Tidak ada orang yang
mengingatkanku dan tidak pernah ada orang memberikanku sebuah kado di
hari ulang tahunku, baru Ferdy seorang yang pertama kali ingat dan
memberikan aku sebuah kado.
"Bagaimana kamu tahu kalau sekarang aku berulang tahun?"
"Saat
kamu tertidur di halte, tidak lama kemudian sebuah bus datang.
Sebenarnya aku ingin membangunkan kamu, aku pikir tidak perlu, kamu
terlalu pulas....jadi aku membopong kamu naik kedalam bus. Saat kita
sampai, aku melihat kedua orang tuamu di tempat kita mengamen, aku
memanggilnya dan menjelaskan semuanya jika kamu berada bersamaku ngamen
di bus. Aku kasihan melihat kedua orang tuamu sepertinya sangat capek,
jadi aku yang menggendongmu sampai rumah. Saat berada di rumahmu aku
tidak sengaja melihat foto kamu yang bertuliskan tanggal lahir kamu."
Karena penjelasannya, aku tahu bagaimana Ferdy tahu rumahku.
"Jingga, kamu bercita-cita ingin menjadi model.....inilah kesempatan kamu menunjukkan kalau kamu bisa menjadi seorang model."
"Tapi, Fer...aku..."
Ferdy memotong
"Sttststs.........aku tidak menginginkan kamu harus menang, kamu ikut saja aku sudah sangat senang, please jangan kamu tolak permintaanku"
Aku pasrah, mengikuti dengan apa kemauan Ferdy.
Ferdy menemui panitia acara, mendaftarkan aku sebagai salah satu peserta dan memberikan kertas undangan itu.
Tidak lama kemudian acara dimulai seorang MC
naik keatas panggung menyapa kontestan dan pengunjung mall, memanggil
nama-nama kontestan. Aku gugup sekali, tidak tahu apa yang harus aku
lakukan sama sekali tidak ada persiapan.
"Acara sudah mulai, kamu pergi gabung sama kontestan yang lain," kata Ferdy
"Kamu?"
"Tenang saja, aku tidak akan meninggalkan kamu...aku tunggu di meja sana."
Aku
bergabung dengan kontestan yang lain. Aku tahu mereka semua berbeda
dengan aku, semuanya anggun dan cantik-cantik, aku minder dan tidak
percaya diri. Satu persatu kontestan menunjukkan kelihaiannya berjalan
di panggung layaknya seorang model terkenal. Aku mengumpulkan keberanian
dan rasa percaya diri yang tinggi. Aku mesti bisa dan aku tidak ingin
mempermalukan diriku sendiri, serta tidak ingin membuat Ferdy kecewa.
Ferdy senyam-senyum memeperhatikanku disana. Aku tidak sabar segera naik
keatas panggung, ingin semuanya segera selesai dan berakhir, tidak
tahan dengan semuanya yang aku alami gara-gara permintaan bodoh Ferdy.
Tibalah
giliranku naik keatas panggung dan berjalan seperti model. Kulihat
pandangan para juri yang kurang begitu suka melihatku, mungkin aku
terlihat anak yang norak dan tidak memiliki suatu kemampuan untuk
menjadi seorang model. Tapi aku harus melakukan, karena terlanjur
berjanji sama Ferdy, setidaknya aku suka dia tersenyum. Kubuang rasa
takutku, tidak tahu darimana asalnya, aku begitu percaya diri berjalan,
seperti ada yang menuntunku untuk bergaya di depan sorotan kamera.
Melenggang mempertunjukkan body language-ku, yang aku pikir
sangat kampungan. Aku tak perduli juri mau memberi nilai aku apa, yang
jelas aku sudah menepati janjiku, dan menerima kado Ferdy, meski dengan
berkorban. Ku menghargai sifat baik Ferdy.
Rasa senang sekali
ketika aku menuruni panggung setelah bergaya diatas panggung, lega
rasanya setelah melakukannya. Aku menghampiri Ferdy dan memukulnya
karena merasa gregetan padanya.
Para juri sibuk menilai-nilai
untuk menentukan juaranya. Sambil menunggu hasilnya, aku dan Ferdy makan
disebuah cafe sederhana yang terletak tidak jauh dari sana. Aku
ceritakan perasaanku mengenai apa yang barusan aku lakukan. Ferdy hanya
bisanya ketawa mendengarkan celotehanku....cekakacekikikan...aku jadi
geli melihatnya.
Setelah lama menunggu, tibalah saatnya pengumuman
siapa saja pemenangnya, semua kontestan disuruh naik keatas panggung.
Juri mulai membacakan para pemenang dimulai dari kategori terkecil,
hingga pada ketiga besar. Alangkah kagetnya ketika juri menyebut namaku
sebagai juara utama. Aku tidak bisa bergerak dan berkata-kata, aku tidak
percaya sama sekali. Apalagi dengan Ferdy, dia sangat bergembira
sekali, dia merasa usahanya berhasil.
Aku menceritakan semuanya kepada kedua orang tuaku, mereka senang sekali dan berterima kasih sekali kepada Ferdy.
Semenjak
aku terpilih sebagai juara utama pemilihan model, beberapa bulan
kemudian aku jadi sibuk, banyak kontrak kerja yang mesti aku lakukan.
Pemotretan sana sini, jadi bintang iklan dan jadi bintang tamu disebuah
acara talk show semuanya mengikat, merupakan suatu keharusan yang tidak
bisa aku tinggalkan. Perubahan-perubahan dalam hidupku bermunculan, aku
sudah tidak mengamen lagi, gitarku masih tetap berada diorang yang
dikenal Ferdy. Orang tuaku juga berhenti memulung, aku bisa membeli
rumah, membawa kedua orang tuaku kepada kehidupan yang serba tidak
kekurangan, hidupku membaik tidak susah lagi. Bagaimana dengan Ferdy?
Aku tidak lupa dengan pengorbanan dia. Berkat dia aku bisa hidup seperti
ini, aku sekarang berada diatas, ini bukan mimpi, nyata dan benar.
Beberapa kali aku tawarkan dia minta apa saja, tapi dia tidak mau. Aku
tidak akan melupakan dia dan pengorbanan dia, aku berusaha tidak berubah
di mata dia, tetap seorang Jingga yang dia kenal.
Ferdy mendukung
semua dengan apa yang aku lakukan, dia senang sekali tiap kali aku mau
melakukan sesi pemotretan atau menjadi salah satu bintang tamu di sebuah
acara talk show. Hingga beberapa hari kemudian aku bercerita kepadanya,
jika aku mendapat tawaran untuk sebuah produk yang mesti melakukan
pemotretan di Paris. Ferdy mengiyakan aku untuk ikut, dia antusias
sekali, dan menyuruhku untuk tidak menolak tawaran itu. Jika aku
menolaknya, dia mengancam tidak mau berteman dengan aku lagi. Tentu saja
aku tidak menolak tawaran itu, takut Ferdy meninggalkanku. Meski berat
rasanya meninggalkannya dan meninggalkan kedua orang tuaku,
bermacam-macam alasan aku lontarkan, agar aku bisa menolak tawaran, tapi
Ferdy terus memaksa, membuat aku mengiyakan.
Sehari sebelum
berangkat ke Paris untuk melakukan pemotretan aku menemui Ferdy ditempat
biasa kami mengamen untuk berpamitan kepada Ferdy. Aku juga titip kedua
orang tuaku ke Ferdy. Ada perasaan yang mengganjal melarangku untuk
pergi, ada hal yang membuatku berat meninggalkan dia. Tapi aku tidak
bisa, aku mesti harus pergi, jika tidak ferdy akan meninggalkanku. Aku
mulai menyukai Ferdy, merasakan benar-benar tidak sanggup untuk berpisah
dengannya, dia sangat berarti untukku selain kedua orang tuaku.
"Fer, besok aku berangkat ke Paris untuk beberapa minggu," kataku dengan suara pelan.
Dia mengangguk, dan tahu betul dengan keadaanku yang tidak ingin pergi.
"Jingga,
pergilah....ini adalah kesempatan kamu, saatnya kamu jadikan impianmu
jadi kenyataan....impian yang kamu impikan semenjak kamu kecil, buktikan
kalo kamu bisa."
Ferdy tersenyum, memberikan semangat-semangat
yang melegakanku untuk meninggalkannya. Aku senang melihatnya, itulah
seorang Ferdy, selalu ceria.
Aku dan rombongan pihak agency
model berang kat ke Paris, Ferdy dan kedua orang tuaku mengantarkanku
kebandara. Kami mengucapkan kalimat perpisahan, Ferdy tetap saja
memberikan semangat padahal perasaanku sangat gundah.
Perjalanan lama mengantarkanku ke Paris, dan sekarang aku berada di Paris.
Paris
benar kota yang sangat cantik. Tidak salah jika banyak orang bilang
Paris adalah kota mode dan romantis. Tidak ada waktu untuk beristirahat,
setelah sampai di Paris, aku langsung melakukan pemotretan sana-sini,
sangat melelahkan. Managerku mengenalkanku dengan seorang model yang
juga asli indonesia namun lama hidup di Paris. Dia mengatakan, jika kami
bekerja sama dalam suatu produk dengannya. Komunikasi kami lancar
karena kami sama-sama berasal dari Indonesia. Namanya Rania, usianya
kira-kira 28 tahun lebih tua empat tahun dariku. Orangnya menyenangkan
dan supel sekali, dia banyak cerita tentang dirinya. Yang membuat aku
terharu ketika dia bercerita, adik laki-lakinya pergi meninggalkan rumah
karena alasan tidak mau pindah ke Paris, sampai sekarang dia tidak
bertemu dengan adiknya. Seringnya kami bertemu dalam bekerja sama, kami
jadi akrab tidak ada suatu kecanggungan bagi kami berdua, kami saling
berbagi.
Sudah lima hari kami melakukan pemotretan, aku jadi
sedikit melupakan Ferdy dan kedua orang tuaku. Bodohnya aku, meskipun
aku sudah cukup mapan, aku tidak memiliki sebuah handphone, jadi tidak
bisa menghubungi mereka, hanya doa dan rasa rindu yang aku utarakan
melalui udara dingin paris, semoga mereka juga merindukan aku.
Habis
melakukan pemotretan aku punya waktu beberapa jam untuk istirahat. Aku
ajak rania untuk membeli sebuah handphone, dia pasti sangat tahu betul
dimana aku harus membeli karena dia lama dan tahu betul dengan kota
Paris. Kami mengunjungi pusat perbelanjaan, dan membeli handphone, juga
tidak lupa aku juga membelikan satu untuk Ferdy.
"Banyak sekali kamu beli handphone," Kata rania
"Tidak untukku semua."
"Buat orang spesial ya? Pasti pacar," dengan nada menggoda.
"Tidak....hanya untuk seorang yang sangat berjasa dalam hidupku."
Setelah
kami mendapatkan beberapa handphone kami balik ke tempat pemotretan.
Selang beberapa menit kemudian, handphone Rania berbunyi, setelah
berbicara beberapa kata wajah Rania berubah, yang sebelumnya sangat
senang sekali berubah sedih. Dia memutuskan harus pergi segera, tidak
bisa melanjutkan pemotretan, segera balik ke indonesia. Adiknya telah
ditemukan dalam kondisi yang kritis karena mengalami kecelakaan dan
sekarang sedang dirawat di unit gawat darurat. Apa boleh buat aku harus
jadi model suatu produk sendirian, aku dan kru yang lain maklum dengan
keadaan Rania, jika aku jadi dia, aku juga melakukan hal yang sama
seperti apa yang dia lakukan. Sebelum pergi Rania memberikan nomor
handphonenya, aku segera mencatatnya.
Setelah beberapa hari Rania
balik ke Indonesia, aku juga balik ke Indonesia. Itu artinya aku telah
menyelesaikan semua tugasku sebagai seorang model. Aku sudah tidak sabar
sekali ingin segera bertemu dengan kedua orang tuaku dan juga Ferdy.
Kangen dengan masakan buatan ibu, kangen dengan candaan Ferdy, dan
kangen dengan tanah kelahiranku. Perasaanku berbunga-bunga senangnya tak
kepalang, banyak cerita yang mesti mereka dengar dariku.
Sore
hari aku tiba di bandara, di temani dengan hujan rintik-rintik, rupanya
kedua orang tuaku sudah menunggu ditempat penjemputan, langsung kupeluk
mereka. Mereka ingat betul kapan aku memberitahukan kalo aku balik ke
Indonesia. Mereka menunggu sekitar empat jam dibandara, katanya. Aku
yakin mereka bosan sekali menungguku. Terasa ada yang tertinggal,
Ferdy.. ya dia, kemana dia?.
"Mana Ferdy?," tanyaku
"Sudah empat hari ini kami tidak melihatnya......dia juga tidak kerumah," jelas ayahku
Aku
merasa khawatir sekali, apa yang terjadi pada dirinya, apakah dia pergi
meninggalkan aku? Aku tidak mau berlama-lama berada di bandara,
bergegas pulang kerumah, dan segera menemui Ferdy, pasti dia sedang asik
mengamen hingga lupa untuk menjemputku. Aku jadi ingin marah sekali
padanya. Setibanya di rumah, sudah tersedia banyak makanan yang dimasak
oleh ibu.
"Wow banyak sekali...di Paris tidak ada makanan kayak gini, disana kebanyakan roti," kataku
"Aduh..aduh anak ibu......jadi kurus begini. Masalahnya karena kebanyakan roti ya....?," canda ibu.
"Ibu...boleh ga aku mengundang Ferdy untuk makan bareng?," pintaku.
"Tentu saja boleh...ibu sangat senang jika dia ada disini. Ibu menganggap dia seperti anak ibu. Iya kan pak?"
Ayahku mengangguk.
Aku
berlari menuju ke bawah jembatan layang untuk menemui Ferdy, aku yakin
sekali dia berada disana. Setibanya disana aku tidak menemui dia. Aku
tanyakan kepada setiap anak jalanan yang berada disana, orang warung
langgananku, dan pedagang-pedagang asongan, tapi yang aku dapatkan
hanyalah reaksi gelengan kepala sebagai tanda mereka tak tahu. Badanku
sangat capek sekali, sejak balik dari Paris, aku tidak lanjut untuk
mencari Ferdy, memutuskan balik kerumah.
Beberapa hari ini aku
tidak menemukan Ferdy, entah dimana dia berada, dan sedang apa yang dia
lakukan. Aku hanya terdiam dirumah, berbaring ditempat tidur sambil
berfikir berharap Ferdy segera kembali, aku merasakan suatu kehilangan
yang sangat besar dan berartinya dia bagiku. Kuambil handphone yang
ingin aku berikan kepadanya, aku mengotak-atiknya, memencet-mencet
setiap menu yang ada, berharap sekali handphone ini dibawah oleh Ferdy,
sehingga aku bisa menanyakan banyak hal dan bercerita padanya. kutulis
no handphoneku di direktori handphone itu. Kemudian ku matikan.
Aku selalu membawa handphone itu tiap kali aku keluar rumah.
Saat
aku ingin memejamkan mata, dering handphoneku berbunyi, terlihat nama
Rania. Dia memeinta maaf kepadaku karena tidak bisa melanjutkan
pemotretan, serta menanyakan keberadaanku. Aku juga menanyakan padanya
mengenai keadaan adiknya, dia terdiam kemudian menangis sesenggukan, aku
tidak tega mendengarkan.
"Besok sudah bisa di bawa pulang kerumah, kata dokter," kata rania dengan terbata-bata
Dari suaranya aku sangat yakin, keadaan adiknya tidak begitu baik.
"Aku senang, adikmu sudah baikan, boleh ga aku besok menjenguk adikmu?"
"Iya, boleh..."
Aku tanyakan alamat rumahnya, setelah memeberikan alamat rumahnya padaku, percakapan kami berakhir.
Besoknya,
aku cari-cari mengelilingi tiap komplek yang sesuai dengan alamat rumah
Rania yang dia berikan padaku, muter-muter kutanyakan pada tiap orang
yang aku temui.
"Tahu alamat ini pak?," tanyaku.
"O....,neng jalan lurus kemudian belok ke kanan, tiga baris dari depan, itu rumahnya,' kata seorang laki-laki tua.
"Terima kasih pak."
Aku melanjutkan perjalanan.
Sebuah
rumah megah berpilar tinggi, sangat mewah seperti istana, disitu
alamatnya. Kemudian ku pencet bel yang menempel di dinding. Seorang
pelayan keluar membukakan pintu dan menyakan siapa dan keperluanku.
Setelah ku jelaskan aku dipersilahkan masuk dan duduk menunggu rania di
ruang tamu.
Tidak lama kemudian dia datang.
"Hai ..Jingga," dia menyapa sambil memelukku.
Aku senang sekali dapat bertemu dengannya.
"Sendirian?"
Aku
mengangguk, kami sedikit mengobrol sebelum aku bertemu dengan adiknya.
Selang beberapa menit Kemudian dia membawaku untuk menemui adiknya.
Adiknya
sedang duduk di kursi roda dekat kolam renang, terdiam termenung
sendirian. Aku mendekati dirinya, sepertinya aku kenal sekali dengan
sosok itu, tidak asing bagiku. Ferdy.... mungkinkah dia? Hatiku kuat
mengatakan kalau itu Ferdy. Setelah dia menoleh kearahku, ternyata aku
salah, dia bukan seorang yang aku kenal. Dia hanya diam, tak berkata
apa-apa, aku mengerti dengan keadaannya. Sangat tragis keadaannya,
gara-gara kakinya di amputasi, dia mesti berjalan memakai kursi roda.
Sangat sulit baginya melihat kondisinya yang begitu.
Aku tersenyum
padanya, namun dia tidak membalas senyumanku sama sekali. Rania
memandangiku seakan-akan berbicara kalau adiknya sedang putus asa tidak
bisa menerima kenyataan pahit ini.
Setelah menjenguk adiknya, aku
tidak berlama-lama berada di rumah Rania. Aku mesti pulang kerumah.
semenjak aku kehilangan Ferdy, aku males jalan-jalan sendirian atau
bersama yang lainnya, aku kangen sekali dengan Ferdy.
***
Setibanya dirumah, aku langsung masuk ke dalam kamar.
Di
dalam kamar aku membayangkan segala hal mengenai awal pertemuanku
dengan Ferdy, ketika ngamen, makan, bergurau dan jalan bareng. Kenangan
lama itu melekat jelas teringat dipikiranku, aku ingin dan rindu sekali
seperti dulu lagi, saat aku bersama dirinya, rasa rindu ini bikin sesak
dadaku. Dia yang menghiasi hidupku dengan berbagai warna dan rasa,
hidupku begitu indah, bahagia berada didekatnya. Aku tidak tahu mengapa
dia pergi begitu saja tanpa memberikan alasan yang jelas. Aku
bertanya-tanya apakah diriku telah berbuat salah padanya, aku merasa
diriku bersalah padanya.
"Tok…tok…tok ....Jingga...Jinga, apakah kamu ada didalam?"
Suara ibu mengetok-ngetok pintu kamarku sedikit mengejutkanku dan membuyarkan bayangan tentang Ferdy
Aku keluar dari kamar menemui ibu.
"Ada apa bu?"
"Ini, tadi ada seorang perempuan menitipkan sebuah undangan untuk kamu."
Aku
terima undangan itu, kemudian masuk kembali kedalam kamar. Aku
membacanya sekilas tidak terlalu perduli.Tiap minggu aku banyak sekali
menerima macam-macam undangan, semua undangan yang datang kubaca acara,
tempat dan waktunya saja. Tak perduli itu undangan dari siapa dan untuk
acara apa. Terkadang aku salah kostum karena tidak membaca lebih jelas
tentang undangan yang datang, tapi aku tidak perduli. Undangan barusan
menyebutkan acaranya dilangsungkan dua hari kedepan pukul 10.00 pagi.
Setelah membacanya kuletakkan di atas meja riasku.
Seharian penuh
aku habiskan hari-hariku didalam kamar. Tiap kali handphoneku berbunyi
aku tidak mengangkatnya, ibu khawatir sekali melihat keadaanku yang
sedikit berantakan. Dia tahu betul mengapa aku begitu. Sesekali dia
marah kepadaku semata-mata agar aku bisa beraktifitas, tidak berdiam
diri seperti orang yang tidak sehat, tapi benar, sekarang ini aku lagi
tidak sehat penyebabnya karena Ferdy, dialah obat dari rasa sakitku.
Dua hari kemudian
Karena
ibu terus memarahi aku yang terus bermalas-malasan di dalam kamar,
lama-lama telingaku panas juga. Akhirnya aku ambil undangan yang
kuletakkan dimeja rias. Kubaca sekali lagi tempat dimana acara itu akan
dilangsungkan, kemudian aku berdandan rapi, memakai gaun putih, aku jadi
teringat ketika Ferdy menyuruhku untuk memakai gaun putih untuk
mengikuti pemilihan model, indah sekali rasanya hari itu. Aku bergegas
berangkat berpamitan ke ibu untuk menghadiri undangan itu.
Aku
tahu, pemilik acara adalah orang kaya, terlihat dari bentuk dan design
undangan yang mewah, pasti banyak orang yang ga jelas menghadiri acara
itu. Setibanya disana, sesuai dengan dugaanku, banyak orang yang ga aku
kenal. Aku canggung sekali memasuki ruangan yang sudah penuh oleh para
undangan, tidak hanya itu aku semakin canggung karena datang sendiri.
Untungnya ada rania, aku sedikit kaget ketika dia menyapaku, ternyata
dia juga diundang. Dia datang bersama seorang cowok. Aku berpikir kalau
cowok yang sedang bersamanya adalah pacarnya, ternyata tidak. Cowok itu
adalah adik keduanya, sedang yang mengalami kecelakaan adik ketiganya.
"Ko...datang sendirian?,” tanya rania
Aku
bingung mencari alasan yang tepat untuk menjawab pertanyaan Rania itu,
belum aku memberikan jawaban dia mengenalkanku pada adiknya
"Oh
iya, Jingga, kenalkan, ini adikku namanya Marco......Dia baru saja
datang dari London, dan juga baru menamatkan kuliahnya di jurusan
bisnis, sekarang dia kerja di Indonesia."
Cowok itu tersenyum ramah kemudian menjabat tanganku.
Tidak
tahu mengapa aku dan Marco cepat begitu akrab. Selama acara belum
dimulai aku terus bersama Rania dan Marco, kami saling bercerita dari
hal yang ga penting sampai hal asmara kita masing-masing. Marco baru
saja putus dengan pacarnya, alasannya pacarnya tidak mau jika Marco
bekerja dan tinggal di Indonesia. Marco juga menjelaskan bagimana dia
bisa sampai hadir di acara itu, acara itu adalah acara pernikahan teman
bermainnya sewaktu masih kecil. Marco dan dia akrab sekali, mangkanya
dia menghadiri undangan itu. Aku jadi penasaran siapakah temannya itu.
Aku jujur tidak tahu siapa pemilik acara dan yang mengundangku untuk
menghadiri acara pernikahan itu.
Marco bercerita kalau temannya
yang mau menikah itu minggat dari rumahnya, tidak mau dijodohkan oleh
orang tuanya dengan anak orang kaya dari Denmark. Padahal orang tua
temannya sudah menjodohkannya sewaktu temannya itu masih balita. Aku
sedikit prihatin dan dan sedikit geli mendengarkan cerita Marco barusan.
"Lalu sekarang temanmu?'tanyaku
"Dia
setuju dengan perjodohan itu...makanya sekarang dia menikah. Alasannya
dia menerima perjodohan itu karena ibunya sakit keras... Dia tidak tega
melihat ibunya yang sakit dan menderita, ibunya terus meminta dia untuk
setuju dengan perjodohan itu...... Ya, akhirnya dia setuju."
Tidak
lama kemudian acara dimulai. Marco tersenyum lebar karena bakal melihat
temannya menikah. Aku terus memandang kedepan, semua undangan yang lain
juga memandang kedepan tidak sabar untuk melihat kedua mempelai.
Keluarlah kedua mempelai.
Betapa terkejutnya aku.
"Assssstaga......!!!!!!!!!!!!!!!"
Ternyata
itu Ferdy, pria yang bersanding dengan mempelai wanita itu benar-benar
Ferdy. Aku tak bisa mempercayai semuanya. Badanku seketika mengaku,
bibirku tidak bisa berucap, tangan dan kakiku tidak bisa kugerakkan,
mataku sediki demi sedikit mengabur, aku mulai mati rasa namun aku
berusaha untuk kuat.meskipun hatiku hancur, sangat dan benar-benar
hancur.
Air mataku jatuh tak tertahankan, terlihat disana Ferdy
terus memandangiku yang tak bisa bergerak, mungkin dia tahu jika aku
sangat terpukul sekali dengan kejadian ini. Tuhan mengapa kau hadirkan
dia untukku jika pada akhirnya hanya untuk membuatku menderita.
***
Sejak
Ferdy hidup bersama istrinya. Hari-hariku ku habiskan bersama Marco,
dia yang terus membantuku untuk bisa melupakan Ferdy dan tidak
membencinya. Meskipun tak seperti Ferdy, namun Marco setia dan terus
memberikan perhatian padaku menemaniku, selalu ada setiap aku butuhkan.
Dua
tahun sesudah pernikahan Ferdy, aku melangsungkan pernikahanku dengan
Marco. Aku tidak lupa untuk mengundang Ferdy, dia datang bersama
istrinya. Meskipun kami sudah menikah kami masih bersahabat. Terkadang
Ferdy dan istrinya datang kerumah untuk ngumpul bareng, terkadang aku
dan Marco yang datang kerumah Ferdy.